Skip to main content

Hidup di Tanah Tercemar limbah


 Skipper ingat suatu kali saat musim semi yang basah ketika cacing tanah bermunculan—dan burung yang memakannya berjatuhan dari pohon pun kejang-kejang. "Hal itu tidak akan terjadi lagi," katanya suatu hari di musim dingin yang lalu.

Jun Apostol menghabiskan sebagian besar masa dewasanya di kaki gunung-limbah. Pensiunan akuntan ini pada 1978 menetap bersama keluarganya di sebuah rumah baru yang sederhana di Montebello, sebuah kawasan industri sekaligus permukiman di timur Los Angeles. Tidak jauh dari rumahnya, di kota tetangga Monterey Park, terdapat Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) aktif—tetapi jangan khawatir, kata pengembang. Tempat itu akan segera ditutup dan dijadikan taman atau bahkan mungkin lapangan golf.

Janji itu tidak kunjung terwujud. Ternyata TPA itu, bekas tambang batu yang diisi demikian banyak sampah sehingga tertimbun sampai penuh dan terus meninggi, juga menampung pembuangan satu miliar liter limbah cair industri—dan limbah cair yang dibuang bebas apa saja. Apakah limbah itu mengandung arsenik, 1,4-dioksan, atau air raksa? Ah, tidak masalah. Jajaran unit pompa di dekatnya, peninggalan masa demam minyak, jelas tidak peduli. Sebagian limbah itu malah mungkin berasal dari pengeboran sumur minyak tersebut.

Los Angeles mengubur limbah berbahayanya, tetapi tidak berarti jadi tidak berbahaya. Beberapa tahun setelah kompleks Apostol dibangun, beberapa tetangganya mulai mengeluh mual-mual. Ada enam rumah yang terkena bocoran gas. Nilai properti langsung anjlok. Pada 1986 Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) turun tangan dan memasukkan TPA itu ke dalam lokasi Superfund, bagian dari program baru badan itu untuk mengatasi krisis limbah berbahaya di AS.

Saat itu banyak yang berharap bahwa proses pembersihan nasional ini akan berakhir dalam satu atau dua dekade. Hal itu tidak tercapai di TPA Operating Industries, Inc. di Monterey Park. EPA melapisi TPA itu dengan membran berbahan dasar tanah liat lalu menimbunnya dengan setengah meter tanah. Gas dari sampah itu dikumpulkan dan dibakar; instalasi pengolahan memproses hampir 100.000 liter air yang tercemar setiap hari. Sejauh ini EPA berhasil menarik bayaran sekitar 7,2 triliun rupiah untuk pembersihan ini dari berbagai pihak yang bertanggung jawab atas limbah di lokasi tersebut—dan badan ini belum bisa memperkirakan kapan proses itu selesai.

Tidak ada yang membahas TPA itu lagi. "Orang sudah lupa," kata Apostol suatu sore di teras dalam rumahnya, sementara musik mengalun dari pelantam dan anjing kecilnya, mengenakan sweter pudar "Romney 2012", menyalak minta perhatian. Harga rumah naik lagi, katanya, dan sebagian besar penduduk tetap tinggal di sana. Istrinya mengidap kanker payudara, tetapi dia tidak menyalahkan TPA itu. Dia tidak lagi mempersoalkan keberadaannya sejak EPA turun tangan: TPA itu begitu terurusnya sehingga, tidak seperti warga kota tetangga, dia tidak perlu khawatir soal sampah longsor.
"Tidak ada yang kami sesali," kata Apostol. "Mau ke mana lagi?" Dia bisa saja pindah ke tempat lain, lanjutnya, tetapi tidak ada yang lokasinya sestrategis Montebello. Hidup berdampingan dengan lokasi pembuangan limbah mungkin tidak ideal. Akan tetapi, lalu lintas yang padat juga sama memusingkannya.

SAAT INI HAMPIR SATU DARI ENAM orang Amerika hidup dalam radius lima kilometer dari lokasi pembuangan limbah berbahaya besar, meskipun tidak banyak orang yang tahu letaknya. Tempat semacam itu termasuk dalam program Superfund, yang disahkan oleh Kongres AS tahun 1980 setelah kontroversi terkenal pembangunan perumahan di kawasan Terusan Love di kota Niagara Falls, New York. Warga Terusan Love mengajukan tuntutan terhadap Hooker Chemical Company setelah mereka menemukan drum limbah kimia di lingkungan mereka, yang ternyata dibangun di atas tempat pembuangan limbah. Terusan Love membuat banyak orang Amerika bertanya-tanya, Mungkinkah hal serupa terjadi di lingkungan saya?

Ada lebih dari 1.700 lokasi Superfund, dan masing-masing memiliki kisah sendiri. Sebagian merupakan pengorbanan demi keamanan negara, seperti 1.518 kilometer persegi di Hanford, negara bagian Washington, tempat reaktor membuat plutonium untuk bom atom sejak Proyek Manhattan saat Perang Dunia II. Lainnya bekas tambang, seperti Tambang Berkeley di Butte, Montana, yang digali untuk mendapatkan tembaga dan sekarang terisi air. Ada pula bekas pabrik kimia, pabrik peleburan, dan fasilitas penyimpanan biji-bijian yang banyak memakai fumigan pada masa aktifnya. Air, yang dapat menyebarkan racun, merupakan salah satu faktor kesamaan sebagian lokasi tersebut: misalnya Kanal Gowanus di New York, serta sebagian Sungai Hudson dan pelabuhan New Bedford, Massachusetts. Dan banyak sekali di antaranya yang merupakan tempat pembuangan sampah akhir.

Bahwa tempat-tempat yang tercemar ini tidak lagi menjadi fokus perhatian nasional sebagian karena fenomena jarang disebut: kecakapan pemerintah. Meskipun selalu mengalami kekurangan dana, EPA berhasil merampungkan pembersihan lebih dari 380 situs dan selesai membangun fasilitas pengolahan di lebih dari 1.160 lokasi lainnya, termasuk Monterey Park. Tidak semuanya menggembirakan. Bahkan saat terkendali pun limbah itu tetap ada di sana—dan badan itu memperkirakan ada 95 lokasi dalam pengelolaannya yang belum terkontrol, yang mungkin bisa menyebabkan orang terpapar racun di masa depan. Namun, boleh dikata bahwa tekanan untuk membersihkan lokasi limbah tidak sekencang seperti era 1970-an.

Uang masih selalu menjadi masalah. Program Superfund dahulu ditopang dua tiang: aturan yang mewajibkan pihak pencemar bertanggung jawab untuk membersihkan limbahnya serta "Superfund"—didanai oleh pajak minyak mentah dan bahan kimia—yang menyediakan pendanaan kepada EPA untuk membersihkan suatu lokasi apabila gagal mendapatkan pembayaran dari pihak yang bertanggung jawab. Kongres membiarkan pajak tersebut berakhir tahun 1995; program ini sekarang didanai oleh pajak yang ditarik dari semua orang Amerika. Program ini kekurangan pegawai. Sementara dana Superfund sendiri hampir ludes.

Lokasi kelolaan Superfund sebagian besar telah memasuki tahap terkendali tetapi berlarut-larut, urgensinya di mata publik kalah oleh isu lain seperti perubahan iklim, kata William Suk, yang mengepalai Superfund Research Program dari National Institutes of Health sejak didirikan tahun 1980-an. "Bukan di lingkungan saya, jadi tidak masalah," demikian sikap kebanyakan orang yang dilihat Suk. "Semuanya pasti baik-baik saja—tidak ada lagi Terusan Love."

Dahulu saat drum bocor ditemukan di lingkungan perumahan, timbul kekhawatiran kalau-kalau limbah berbahaya tersebut akan menyebabkan wabah kanker. Prediksi ini tidak terbukti kebenarannya. Identifikasi kluster kanker yang signifikan secara statistik merupakan hal yang sangat sulit, sejauh ini baru ada tiga kasus yang dikaitkan dengan limbah berbahaya di Amerika Serikat. (Terusan Love bukan salah satunya.) Empat puluh persen orang Amerika didiagnosis mengidap kanker pada masa hidupnya, terutama akibat kesalahan acak DNA yang terjadi saat pembelahan sel. Sebagai faktor risiko, polusi mendapat peringkat di bawah merokok, kegemukan, makanan, alkohol, dan beberapa jenis virus.
Namun, tidak berarti bahwa lokasi limbah berbahaya itu aman. Kanker hanyalah salah satu bahaya yang dapat ditimbulkannya; bahaya lainnya adalah cacat lahir. Kabut ketidakpastian menyelimuti tempat tercemar. Suk memberikan contoh Sungai Cuyahoga di Ohio. Kejadian terbakarnya sungai itu tahun 1969 mendorong pengesahan UU Air Bersih dan menggalakkan pembersihan sungai di seluruh Amerika Serikat—tetapi sungai itu dan beberapa sungai lainnya masih jauh dari bersih. "Sudah bukan sungai api lagi," kata Suk. "Akan tetapi, jangan suruh saya berenang di sana."

BAGAIMANA CARA HIDUP di tanah yang tercemar? Kita perlu menemukan lebih banyak cara untuk memanfaatkan kawasan cokelat (lahan bekas industri dan komersial) bukan hanya kawasan hijau, kata ahli ekologi Erle Ellis dari University of Maryland, Baltimore County. "Lahan cokelat penting bagi kota," katanya. "Memang bisa dianggap sampah, tetapi pupuk kandang juga sebenarnya sampah. Cuma perlu didaur ulang."

EPA mengamini hal itu. Badan ini mencari cara memanfaatkan lahan tercemar yang harus dikelolanya entah sampai kapan. "Pada dasarnya kami akan mengelola tempat ini selamanya," kata Julie Santiago-Ocasio, manajer lokasi EPA di Monterey Park. Biaya untuk mengolah air lindi dan gas TPA serta memastikan bahwa air tanah yang terkontaminasi tidak menyebar dari lokasi itu sebesar 66 miliar rupiah per tahun—tetapi sepetak kecil proyek percontohan panel surya di TPA itu memberi harapan bahwa suatu hari nanti tempat itu mungkin juga bisa menghasilkan energi surya.

Pemanfaatan lain yang lebih dramatis terjadi di bekas Gudang Senjata Rocky Mountain, dekat Denver. Selama Perang Dunia II Angkatan Darat AS membuat gas mustard dan kemudian gas saraf sarin di tempat hampir seluas Kota Gorontalo itu; Shell Chemical Company memproduksi pestisida dieldrin di sana. Limbahnya dibuang ke cekungan yang menampung segala macam kontaminan.

Ketika Sherry Skipper pertama kali tiba di tempat ini sebagai ahli biologi muda pada awal 1990-an, dia sering mengenakan sepatu bot, masker, dan kacamata untuk memeriksa burung jalak yang dia pakai, untuk memantau polusi. Burung tersebut makan cacing dan serangga penggerek yang mengandung dieldrin. Skipper ingat suatu kali saat musim semi yang basah ketika cacing tanah bermunculan—dan burung yang memakannya berjatuhan dari pohon pun kejang-kejang. "Hal itu tidak akan terjadi lagi," katanya suatu hari di musim dingin yang lalu.

Tempat ini sekarang menjadi suaka bagi margasatwa, dan Skipper berkendara mengelilingi tempat itu dengan manajernya, David Lucas dari Fish and Wildlife Service AS. Lanskapnya benar-benar berubah. Fasilitas kimia dihancurkan dari 1999 sampai 2003 lalu dilapisi dengan "penghalang biota"—aspal daur ulang dari bandara lama Denver yang kemudian ditimbun dengan semeter tanah—agar binatang tidak bisa menggali ke tempat yang terkontaminasi. Rumput asli prairi sekarang menyerap air hujan yang jatuh. Di tepi suaka ini, dibuat sumur untuk menghalangi penyebaran air tanah yang tercemar. Perumahan baru bermunculan di sekitarnya.

Berlatar langit Denver, kami mencari-cari elang botak—ada 80 ekor yang bersarang di sini selama musim dingin. Ada bison, anjing prairi, dan rusa bagal. Lokasi ini tidak layak untuk menjadi tempat tinggal manusia, kata Skipper. Namun, ada pula manfaatnya. "Mana mungkin," kata Lucas, "ada wilayah seluas 65 kilometer persegi di sini, di tengah-tengah Denver—yang dibiarkan liar, jadi suaka bagi margasatwa—jika bukan karena lokasi Superfund?"
---
Paul Voosen adalah reporter Chronicle of Higher Education. Artikel terbaru Fritz Hoffmann untuk majalah ini membahas rahasia umur panjang, Mei 2013.

sumber:
 http://nationalgeographic.co.id/feature-ekstra/2014/12/tanah-limbah/3

Comments

Popular posts from this blog

Kegenitan Kampus Undip

Sulit mencari ungkapan  tepat untuk mengungkapkan kampus baru Universitas Diponegoro di Tembalang, Semarang Provinsi Jawatengah. Memang ada jargon kampus yaitu kampus keanekaragaman hayati. Pohon-pohon dibiarkan tetap tumbuh demikian pula semak-semak bahkan ada 2 ekor sapi yang mencari rumput di area kampus. Sapi di area kampus? Begitu banyak kampus, baru sekarang penulis melihat sapi merumput dan memamah biak rumputnya dengan santai. Kebetulan hujan sedang turun, apabila tidak bisa dibayangkan ada banyak burung, kupu-kupu, belalang dan beragam serangga lainnya bersenda gurau diantara pepohonan yang asri tersebut. jalan masuk kampus Undip dan beragam bangunan fakultas di kanan kirinya Kampus baru Universitas Diponegoro ini begitu bersolek. Ada patung Diponegoro berkuda menyambut pengunjung. Ada dua gedung kembar di kanan dan kiri jalan menuju area kampus. Bak  pager bagus menyambut kedatangan siapapun yang ingin menikmati keindahan  kampus Undip. Dan tidak seperti kampus

Dampak Pemanasan Global Bagi Kesehatan

Perubahan iklim membawa pengaruh besar terhadap kesehatan manusia, kehidupan sosial, dan lingkungan tempat tinggal kita. Manusia terancam kekurangan air bersih, sumber-sumber makanan, dan tempat tinggal yang layak huni. Demikian kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di dalam rilisnya. Antara tahun 2030 - 2050, perubahan iklim diduga akan menyebabkan kenaikan angka kematian sebesar 220 ribu jiwa per tahun akibat malanutrisi, diare, dan udara panas. Pemanasan global Selama lebih dari 50 tahun, aktivitas manusia, terutama pembakaran fosil, seperti batu bara dan minyak bumi, telah melepas sejumlah besar karbon dioksida dan emisi gas lainnya. Gas-gas ini kemudian terperangkap di bawah lapisan atmosfer dan menyebabkan pemanasan global. Dalam 130 tahun terakhir, dunia telah menghangat sekitar 0,85 derajat C. Tiga dekade terakhir ini atau terhitung sejak 1850, bumi menjadi lebih panas dari sebelumnya. Akibatnya, lapisan es bumi mencair, permukaan laut naik, dan pola pr

Bauran Energi 25-25, Strategi Indonesia Hadapi Krisis Energi

bauran energi 2025 Aksi protes pro demokrasi  di berbagai negara Arab menyusul mundurnya presiden Tunisia dan Mesir mengakibatkan harga minyak dunia melesat diatas US $104 per barel . Harga yang relative sulit turun mengingat situasi yang makin memanas. Iran berupaya mengirim kapal-kapal angkatan laut ke kawasan Mediterania dan Pemimpin Libya, Muammar Khadafi memerintahkan mengganggu ekspor minyak Libya dengan menghancurkan pipa ke Mediterania Tertanggal 23 Februari 2011, Libya menyatakan force majeur dan efektif membatalkan kontrak minyak. Padahal Libya merupakan pemilik cadangan minyak terbesar di Afrika sebesar 42 miliar barel dan menjadi produsen ke empat terbesar di Afrika dengan produksi 1,8 juta barel per hari. Sedangkan Bahrain, Yaman, Aljazair, Libya dan Iran - mewakili sepuluh persen dari produksi minyak mentah dunia,” Tanpa tragedy dan ketegangan yang meningkat di Timur Tengah dan Afrika Utara, para  pe