Skip to main content

Sejuta Biopori Untuk Antisipasi Banjir di Bandung

 
Banjir di jl Pagarsih Kota Bandung tahun 2012 (sumber FB)

Bak ritme tahunan yang enggan diakhiri, seiring derasnya hujan, beberapa kota terlanda banjir : Jakarta, Bandung, hingga kota kecil Jepara. Banyak penyebabnya, mulai hilangnya daerah resapan air di kawasan Puncak (KBU dan Lembang di Bandung), alih fungsi lahan basah, eksploitasi air tanah hingga pasangnya air laut. 

Untuk mengatasi banjir, para pakar aktif urun rembug. Mulai cara mudah dan mudah hingga proyek prestisius yang membutuhkan anggaran triliunan rupiah. Walikota Bandung, Ridwan Kamil selaku pemegang otoritas Kota Bandung pernah mengajak warganya membuat gerakan sejuta biopori yang dilaksanakan serempak dari tanggal 20 Desember hingga 25 Desember tahun 2013 silam. Progam mudah dan murah yang bisa dilakukan serentak berbekal alat pelubang biopori seharga kurang lebih Rp 300.000.

Biopori? Mengapa memilih biopori? Mengapa bukan sumur resapan? Bagaimana mungkin lubang resapan biopori berdiameter 10 cm mampu mengatasi banjir cileuncang di Kota Bandung? Pertanyaan-pertanyaan khas warga kota yang berpendapat bahwa air hujan harus sesegera mungkin disingkirkan. Mirip anggapan bahwa sampah sebaiknya secepat mungkin dibuang jauh-jauh agar tidak terlihat, tak peduli akan dibuang kemana.

Ternyata biopori tidak bisa dimaknai sederhana. Menurut penemu biopori, Ir Kamir R. Brata, biopori adalah liang (terowongan-terowongan kecil) di dalam tanah yang dibentuk oleh akar tanaman dan fauna tanah. Sehingga jelaslah LRB bukan bentuk mini sumur resapan. Pembeda sumur resapan dengan LRB juga bukan dilihat dari diameternya. Sumur resapan berdiameter sekitar 1 meter, sedangkan LRB 10 cm. Tetapi lebih disebabkan kegunaannya yang sangat besar. Karena harus diisi sampah organik, maka LRB bermanfaat menyehatkan tanah yang sakit yang disebabkan: permukaan tanah tertutup, tanah mati dan mengeras, air hujan tidak meresap dan penyedotan air tanah yang terus menerus.
 
Bandingkan dengan teknologi konvensional yaitu sumur resapan yang berisi pasir, kerikil dan ijuk. Bahan pengisi hanya berfungsi menghindari longsornya dinding resapan, tetapi tidak dapat digunakan fauna tanah sebagai sumber energy untuk menciptakan biopori sehingga sering terjadi penyumbatan permukaan resapan oleh bahan-bahan halus yang terbawa air yang tersaring oleh ijuk dan menyumbat rongga diantara ijuk.
Selain itu pengumpulan volume air yang cukup besar ke dalam sumur resapan menyebabkan beban resapan relatif besar. Beban resapan adalah volume air yang masuk dalam lubang dibagi luas permukaan resapan (dinding dan dasar lubang). Beban resapan akan meningkat sejalan dengan meningkatnya diameter lubang.

dok. David Sutasurya


Tabel 1 menunjukkan bahwa LRB berdiameter 10 cm dengan kedalaman 100 cm hanya menggunakan permukaan horizontal 79 cm2 menghasilkan pemukaan vertikal seluas dinding lubang 0,314 m2, berarti memperluas permukaan 40 kali yang dapat meresapkan air. Volume air yang masuk tertampung dalam lubang maksimum 7,9 liter akan meresap ke segala arah melalui dinding lubang, dan menimbulkan beban resapan maksimum 25 liter/m2. Perluasan permukaan resapan akan menurun dan beban resapan meningkat jika diameter lubang diperbesar. 
Sebagai contoh bila diameter lubang 100 cm atau mendekati diameter sumur, maka perluasan permukaan yang diperoleh hanya 4 kali, dengan beban resapan yang meningkat menjadi 250 liter/m2. Peningkatan beban resapan mengakibatkan penurunan laju peresapan air karena terlalu lebarnya zone jenuh air di sekeliling dinding lubang, terlebih jika sebagian permukaan resapan dikedapkan dengan penguat dinding

Kesimpulannya: LRB ternyata mampu menyerap air banjir lebih banyak dibanding sumur resapan, dengan syarat paralon hanya dipasang disekitar permukaan LRB untuk mencegah longsornya tanah. Jangan memasang paralon hingga dasar lubang seperti yang selama ini dipraktekkan warga masyarakat. Karena fauna tanah harus mendapat akses untuk membuat biopori tanah hingga akhirnya tanah di sekeliling LRB akan menyerap air seperti spons.  LRB akan berfungsi maksimal jika tanah disekelilingnya telah sehat yang dipicu oleh keberadaan sampah organik, sumber nutrisi fauna tanah.

Selain  kemampuan menyerap air hujan/banjir cileuncang yang berarti juga menabung air, keunggulan LRB lainnya adalah:
 Murah dan mudah. Dibanding sumur resapan, pembuatan LRB jelas lebih murah. Harga satu alat biopori kurang lebih sepersepuluh biaya pembuatan sumur resapan. Juga mudah karena ibu rumah tanggapun bisa membuatnya, berbeda dengan sumur resapan yang membutuhkan tenaga tukang bangunan. 

Partisipasi warga. Pembuatan LRB dan pemeliharaannya membutuhkan peran serta warga. Karena syarat pembuatan LRB yang benar adalah harus diisi sampah organik, sehingga warga harus mengisi sampah organik ke dalam lubang dan mengambilnya kembali sebagai kompos sekitar 3 bulan kemudian. Dengan adanya aktivitas ini diharapkan terjalin ikatan silaturahim yang selama ini semakin terkikis di wilayah perkotaan. 

Meminimalisir sampah organik. Menurut perkiraan jumlah sampah organik di perkotaan adalah 60 – 70 % dari total sampah. Bisa dibayangkan jika jumlah itu bisa masuk ke LRB seluruhnya. Maka sisa sampah sebanyak 30 – 40 % akan dimaksimalkan oleh pemulung atau penggiat Bank Sampah. Sampah akhir hanya sekitar 10 % berupa limbah B3 atau sampah yang tidak bisa direcycle, sebetulnya merupakan kewajiban produsen sesuai amanah Undang-undang nomor 18 tahun 2008, ayat 15. Karena itu gerakan ini harus berkelanjutan sehingga diharapkan akan mengubah gaya hidup masyarakat dan berujung berkurangnya jumlah sampah perkotaan.

Berkelanjutan. Jika keberadaan dan manfaat LRB telah dipahami warga secara seutuhnya maka akan tercipta hubungan simbiose mutualisme dengan sendirinya. Warga membutuhkan LRB untuk membuang sampah organiknya, sedangkan LRB membutuhkan ‘sentuhan’ warga agar LRB menjadi tempat yang disukai fauna tanah. Fauna/biota tanah berfungsi menyehatkan tanah, membuat tanah gembur sehingga berfungsi maksimal tatkala hujan turun yaitu mampu menyerap/ menyimpan air 10 kali dari berat awalnya.

membuat biopori di Bdg Berkebun (dok. Maria G. Soemitro)


Dengan semua manfaat tersebut, tidak berlebihan kiranya jika gerakan Sejuta Biopori ini mendapat dukungan 4.500 relawan. Mereka membantu menyosialisasikan LRB ke warga Kota Bandung yang berdomisili di 30 kecamatan, 151 kelurahan, 1.561 RW dan 9.691 RT. Kalkulasi diatas kertas menurut Ridwan Kamil, jika setiap RT membuat 110 - 150 LRB maka akan tercapai satu juta LRB atau bahkan lebih.

Kendala pastinya ada, khususnya di daerah yang sudah tertutup rapat hingga tidak menyisakan ruang terbuka, ketika hujan tiba, air mengalir ke gang-gang kecil alih-alih ke selokan. Karena itulah Gerakan Sejuta Biopori dilombakan antar RW dengan kriteria: jumlah lubang, pemanfaatan sampah organik, penguatan leher LRB, kesesuaian titik LRB dan gotong royong yang didokumentasikan dalam bentuk foto dan atau video.

Hadiah-hadiahnya memang seru seperti piala bergilir, makan bersama Walikota dan Wakil Walikota untuk satu RT, wisata ke beberapa lokasi hingga pemenuhan kebutuhan RW tersebut. Tapi sejatinya hadiah yang utama diperoleh warga ketika alam memperbaiki diri. Bukankah kita hidup dari tanah, makan dari tanah dan kembali ke tanah? Berapa banyakpun uang yang kita miliki pasti akan membeli produk yang berasal dari tanah. Kondisi tanah seperti apakah yang akan diwariskan pada generasi selanjutnya sangat tergantung pada langkah yang kini kita ambil. Karena itu sungguh tepat semboyan yang diusung Gerakan Sejuta Biopori, yaitu: Tanah Sehat, Kota Sehat, Kita Bahagia.

sumber: disini 

(bersambung)

Sumber: 


Ir. Kamir R. Brata

David Sutasurya

Tim relawan Sejuta Biopori

Comments

  1. wah bener bener inspiratif nih buat mencegah banjir, sangat disarankan kota jakarta untuk meniru cara bandung dalam menangani masalah banjir tahunan

    ReplyDelete
  2. ini baru solusi. hmm, mungkin kalau jakarta tidak usah ditanya lagi.
    dengan solusi bagaimanapun, sangat sulit untuk jakarta terhindar banjir karena letaknya terhadap air laut...

    ReplyDelete
  3. @Fandhy, kebetulan saya sudah nulis ini : http://permatadibaliklimbah.blogspot.com/2015/02/rumah-kompos-di-antapani.html

    pak RW dan warga bilang bahwa adanya 1000 lubang resapan biopori (LRB) didaerah itu sangat membantu. Genangan air tidak berlangsung lama. Padahal perawatan LRB belum sesuai dengan konsep pak Ir Kamir R. Brata, penemunya.

    ReplyDelete
  4. i Jeverson, untuk beberapa daerah mungkin sulit, karena itu atas saran beberapa orang ahli, penduduk daerah tsb disarankan pindah.

    Tapi untuk lokasi 'aman' seharusnya konsep pak Ir Kamir R. Brata ini bisa dipraktekan, bukan hanya untuk 'mengusir' banjir tapi juga menyehatkan tanah kembali.

    ReplyDelete
  5. keren artikelnya! ngga cuma berisi hal ilmiah dan teknis, tapi juga kalimat penutupnya itu punya narasi yg oke..

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah terima kasih, hanya mengutip kata-katanya pak Kamir dan pak David, agar tanah sehat.

      terimakasih ya :)

      Delete
  6. Replies
    1. yupps Inda, saya mengenal biiopori tahun 2008 dan alhamdullilah diaplikasikan th 2013, sebetulnya kalo mau konsisten bagus lho utk kawasan perkotaan

      Delete
  7. inspiratif dan sangat solutif.....blogwalking...salam...

    ReplyDelete
  8. Baru mampir udah suka sama tulisannya :)

    www.fikrimaulanaa.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. terimakasih Fikri, baik nanti saya blogwalking kesana .... :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kegenitan Kampus Undip

Sulit mencari ungkapan  tepat untuk mengungkapkan kampus baru Universitas Diponegoro di Tembalang, Semarang Provinsi Jawatengah. Memang ada jargon kampus yaitu kampus keanekaragaman hayati. Pohon-pohon dibiarkan tetap tumbuh demikian pula semak-semak bahkan ada 2 ekor sapi yang mencari rumput di area kampus. Sapi di area kampus? Begitu banyak kampus, baru sekarang penulis melihat sapi merumput dan memamah biak rumputnya dengan santai. Kebetulan hujan sedang turun, apabila tidak bisa dibayangkan ada banyak burung, kupu-kupu, belalang dan beragam serangga lainnya bersenda gurau diantara pepohonan yang asri tersebut. jalan masuk kampus Undip dan beragam bangunan fakultas di kanan kirinya Kampus baru Universitas Diponegoro ini begitu bersolek. Ada patung Diponegoro berkuda menyambut pengunjung. Ada dua gedung kembar di kanan dan kiri jalan menuju area kampus. Bak  pager bagus menyambut kedatangan siapapun yang ingin menikmati keindahan  kampus Undip. Dan tidak seperti kampus

Dampak Pemanasan Global Bagi Kesehatan

Perubahan iklim membawa pengaruh besar terhadap kesehatan manusia, kehidupan sosial, dan lingkungan tempat tinggal kita. Manusia terancam kekurangan air bersih, sumber-sumber makanan, dan tempat tinggal yang layak huni. Demikian kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di dalam rilisnya. Antara tahun 2030 - 2050, perubahan iklim diduga akan menyebabkan kenaikan angka kematian sebesar 220 ribu jiwa per tahun akibat malanutrisi, diare, dan udara panas. Pemanasan global Selama lebih dari 50 tahun, aktivitas manusia, terutama pembakaran fosil, seperti batu bara dan minyak bumi, telah melepas sejumlah besar karbon dioksida dan emisi gas lainnya. Gas-gas ini kemudian terperangkap di bawah lapisan atmosfer dan menyebabkan pemanasan global. Dalam 130 tahun terakhir, dunia telah menghangat sekitar 0,85 derajat C. Tiga dekade terakhir ini atau terhitung sejak 1850, bumi menjadi lebih panas dari sebelumnya. Akibatnya, lapisan es bumi mencair, permukaan laut naik, dan pola pr

Ooho, Kemasan Air Minum Yang Bisa Dimakan

Selain tidak efisien, air dalam kemasan menyisakan limbah plastik yang tidak ramah lingkungan. Hal ini meresahkan banyak pihak. Karenanya banyak orang mencari wadah alternatif untuk menampung air. Ooho , salah satu wadah yang lentur dan bisa mengikuti ruang tempatnya ditaruh, tetapi juga dapat dimakan! Ooho adalah temuan inovatif yang terbuat dari lapisan membran tipis yang dapat dimakan. Teknik pembuatannya dengan cara spherifikasi. Teknik gastronomi molekular, suatu cairan yang dijatuhkan ke dalam larutan alginat, yang kemudian membentuk gel pelindung di sekitar cairan tersebut. Ooho juga dibuat dengan brown algae dan kalsium klorida. Teknik ini sebenarnya sudah diperkenalkan pada tahun 1946 oleh Ferran Adria di Barcelona, Spanyol. Pada waktu itu, dari teknik ini ia membuat zaitun yang berbentuk bulat dan sampai sekarang dapat ditemukan pada banyak restoran dari berbagai negara. “Saat ini manusia selalu membuat botol plastik, 80% dari plastik tersebut ternyat