HISTORIA.CO.ID - Penanggulangan banjir sudah dilakukan sejak masa VOC, tapi air tetap merendam Jakarta.
BATAVIA,
1 Januari 1892. Selama delapan jam lebih, hujan turun begitu lebatnya.
Saluran air tak mampu menampung limpahan air. Banjir pun melanda.
Sejumlah rumah terendam banjir. Rel kereta api Batavia-Buitenzorg (kini
Bogor) nyaris terendam di daerah sekitar Pasar Minggu.
Setahun berselang, banjir kembali
melanda. Kali ini banyak perkampungan dan bagian kota yang lebih modern
ikut terendam seperti Kampung Kepu, Bendungan, Nyonya Wetan, dan
Kemayoran. Banjir tak hanya merusak jalan-jalan di Weltevreden, “tapi
juga merusak perekonomian,” tulis Restu Gunawan dalam Gagalnya Sistem Kanal. Singkat kata, “banjir yang terjadi tahun 1893 mengakibatkan Batavia terendam.”
Jakarta (dulu Batavia) merupakan dataran
rendah yang elevasi maksimalnya tak lebih dari tujuh meter dpl. Di
banyak tempat, bahkan ada yang berada di bawah permukaan laut. Jumlahnya
kira-kira mencapai 40 persen. Konsekuensinya: Jakarta langganan banjir.
Selain dua banjir di atas, banjir terjadi pada 1895 dan 1899.
Pada abad berikutnya, hujan deras pada 19 Februari 1909 menyebabkan sebagian besar wilayah Batavia terendam. Harian De Locomotief sampai
mengkritik pemerintah dengan tulisan berjudul “Batavia Onder Water”
(BOW) alias “Batavia Di Bawah Air”. BOW jadi populer karena merupakan
singkatan kantor sarana dan prasarana pemerintah (Burgelijke den
Openbare Werken) yang juga menangani masalah pengairan.
Beragam upaya terus dilakukan penduduk
atau instansi resmi sebagai respon atas banjir. Seiring perjalanan
waktu, upaya itu berkembang dan kian terorganisasi.
Berdasarkan catatan, VOC di bawah Jan
Pieterzen Coen-lah yang paling awal mengupayakan penanggulangan banjir
di Batavia. Coen melakukannya dengan “menjinakkan” sungai Ciliwung,
salah satu sungai utama yang melintasi Batavia, yang dianggap sebagai
penyebab banjir. Caranya dengan menyodet banyak sisi badan sungai itu.
Sodetan-sodetan sengaja dibuat menjadi kanal-kanal atau terusan seperti
di kota-kota di Belanda. Fungsinya mereduksi beban debit air Ciliwung.
Kanal-kanal itu mengalirkan air dari hulu ke hilir di Laut Jawa.
Upaya Coen tak benar-benar berhasil.
Banjir tetap saja terjadi. Terlebih banyak kanal mengalami pendangkalan.
Endapan material-material yang dibawa air dari hulu lah penyebabnya.
Banyak kanal kemudian tak berfungsi.
Kendati upaya penanggulangan masih terus dilakukan pada masa selanjutnya, banjir tetap sulit dijinakkan.
Pada masa kolonial, pemerintah membentuk
Departement van Burgelijke Openbare Werken (BOW) pada 1918. Setelah
Departement van Verkeer en Waterstaat (Departemen Perhubungan dan
Perairan) dibentuk pada 1933, penanganan banjir di Batavia diserahkan
kepada Gemeentewerken –badan yang mengurusinya di tingkat kotapraja.
Penanggulangan banjir menjadi salah satu
program kerja terpenting pemerintah kolonial. Pemerintah kotapraja pada
1910 menganggarkan 25 ribu gulden untuk menanggulangi banjir di daerah
Jembatan Lima, Blandongan, dan Klenteng. Pemerintah juga mengadakan
penelitian sehubungan dengan meningkatnya penebangan hutan untuk
perkebunan di daerah Bogor dan sekitarnya. Tindak lanjutnya, Herman van
Breen, seorang insinyur hidrologi, ditunjuk untuk menyusun perencanaan
pengairan di Batavia. Hingga akhir 1913 ada lima proyek utama yang
disetujui pemerintah: pembuatan pintu air Matraman, pintu air Gusti,
normalisasi Sunter, kanal banjir, dan saluran Cideng.
Puncak pengendalian banjir di Jakarta
terjadi pada 1913-1930. Pada 1927 saja pemerintah mengeluarkan 288.292
gulden untuk membiayai delapan proyek. Dalam upaya tersebut, kelebihan
pemerintah kolonial adalah preventif. Sedangkan kelemahannya, tulis
Restu Gunawan, keterbatasan dana.
Di masa Jepang, penanggulangan banjir
terbengkalai. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia sibuk dengan urusan
mempertahankan kemerdekaan. Banjir hanya ditanggulangi masyarakat dengan
cara-cara yang bersifat temporal dan lokal.
Masalah banjir mulai mendapat perhatian
pada 1965. Pada Februari tahun yang sama, pemerintah membentuk Komando
Proyek Pencegahan Banjir –kemudian diubah pada 1972 menjadi Proyek
Pengendalian Banjir Jakarta Raya. Tugasnya mengadakan usaha-usaha untuk
mencegah dan mengendalikan banjir di Jakarta serta melakukan berbagai
tindakan perbaikan pengaliran dan saluran, pembuatan tanggul, dan
lain-lain. Badan-badan itu berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum.
Pemerintah DKI sendiri hanya kebagian tanggung jawab mengurusi
proyek-proyek mikro (nonstruktural); proyek makro(struktural) berada di
tangan pemerintah pusat.
Pemerintah juga menggandeng pihak asing.
Hasilnya antara lain pembuatan waduk dalam kota serta pembuatan saluran
baru seperti saluran Cengkareng dan saluran Cakung. Pada 2000-an,
pemerintah kembali mencoba menangani banjir dengan membangun Kanal
Banjir Timur. Model penanggulangan dengan membuat kanal banjir, yang
sebetulnya merupakan gagasan van Breen pada 1923, disangsikan dan menuai
banyak kritik.
Sama seperti penanggulangan banjir masa
kolonial, kelemahan masa republik juga sama: dana. Akibatnya, banyak
proyek gagal dilaksanakan.
Selama hampir satu abad, tulis Gunawan,
ada dua cara yang ditempuh: sistem makro dan sistem mikro. Dalam sistem
makro, pembangunan kanal dan sistem polder serta pembuatan waduk
penampungan cenderung dipilih. Sistem kanal tak begitu efektif lantaran
kondisi topografis Jakarta yang datar sehingga aliran air tak begitu
kuat. Selain itu, sampah dan sedimentasi lumpur yang besar juga
menghambat aliran air. Sedangkan sistem polder terkendala oleh
permukiman penduduk. Aliran air ke polder jadi tak lancar.
“Mencermati kegagalan demi kegagalan
dalam pengendalian banjir,” saran Gunawan, “upaya pengendalian banjir
oleh pemerintah harus dilakukan lebih konseptual dengan mengatasi akar
penyebabnya, yaitu menurunnya infiltrasi air ke dalam tanah yang
mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan.”
(Historia - MF. Mukthi)sumber :
https://id.berita.yahoo.com/air-mengalir-sampai-banjir-151752452.html
Comments
Post a Comment