Skip to main content

Sequel To Revolusi Hijau



Pertanian tak bisa diperbaiki hanya dengan bioteknologi.


Ada yang menyebabkan tanaman ubi kayu milik Ramadhani Juma mati. "Mungkin kebanyakan air," katanya sambil menyentuh daun kuning layu pada tanaman setinggi dua meter. "Atau kebanyakan matahari." Tanah yang digarap Juma tak sampai setengah hektare, di dekat kota Bagamoyo, Tanzania.

Dia berbicara dengan teknisi dari kota besar, yaitu Deogratius Mark, 28 tahun, dari Mikocheni Agricultural Research Institute. Mark memberi tahu Juma bahwa masalahnya bukan matahari maupun hujan. Penyebab ke­matian ubi kayu itu tidak terlihat karena sangat kecil, yaitu virus.
Ia menjelaskan bahwa lalat sebesar kepala jarum pentol itu menyebarkan dua virus. Yang satu merusak daun ubi kayu, dan yang kedua, disebut virus brown streak, merusak umbinya—yang biasanya baru diketahui saat panen.
Setelah menyingkapkan umbi, Juma mem­belah­nya hanya dengan sekali mengayunkan pacul. Dia menghela napas—daging putih krem pada umbi itu bergaris-garis zat pati cokelat yang membusuk.
Agar bisa menyelamatkan cukup banyak tanaman untuk dijual dan juga memberi makan anggota keluarganya, Juma harus melakukan panen satu bulan lebih awal. Saya bertanya seberapa penting ubi kayu baginya.

"Mihogo ni kila kitu," jawabnya dalam bahasa Swahili. "Ubi kayu itu segalanya."

Sebagian besar warga Tanzania adalah petani pas-pasan. Di Afrika, lebih dari 90 persen tanaman ditanam oleh pertanian keluarga kecil, dan ubi kayu merupakan makanan pokok bagi lebih dari 250 juta orang. Tanaman ini dapat tumbuh di tanah marginal sekalipun, dan tahan terhadap gelombang panas dan kekeringan. Tanaman yang tepat bagi Afrika abad ke-21—andai bukan gara-gara lalat putih, yang jangkau­annya meluas seiring memanasnya iklim. Kedua virus yang menyerang lahan Juma sudah me­nyebar ke seluruh Afrika Timur.
Sebelum meninggalkan Bagamoyo, kami me­nemui tetangga Juma, yaitu Shija Kagembe. Ladang ubi kayunya bernasib sama. Dia me­nyimak sementara Mark memberitahunya tentang ulah virus. "Bagaimana Anda bisa mem­bantu kami?" tanyanya.


Menjawab pertanyaan itu adalah salah satu tantangan terbesar abad ini. Dengan adanya per­ubahan iklim dan dan pertumbuhan pen­duduk, hidup akan semakin tak menentu bagi Juma, Kagembe, dan petani kecil lain di dunia berkembang—dan bagi tanggungan mereka. Hampir sepanjang abad ke-20, umat manusia berhasil unggul dalam "perlombaan Malthus" antara pertumbuhan penduduk dan per­sediaan makanan. Apakah kita mampu mem­pertahankan keunggulan itu pada abad ke-21, ataukah bencana global akan menimpa kita?

PBB memperkirakan bahwa pada 2050 populasi dunia akan bertambah lebih dari dua miliar jiwa. Separuhnya akan lahir di Afrika sub-Sahara, dan 30 persen lagi di Asia Selatan dan Tenggara. Semua wilayah ini pula yang diperkirakan akan mengalami efek terburuk perubahan iklim—kekeringan, gelombang panas, dan cuaca ekstrem secara umum.



Bulan Maret lalu, Intergovernmental Panel on Climate Change memperingatkan bahwa persediaan pangan dunia sudah terancam bahaya. "Selama 20 tahun terakhir terjadi per­lambatan dalam laju pertumbuhan hasil panen, terutama beras, gandum, dan jagung," kata Michael Oppenheimer, ilmuwan iklim di Princeton dan salah satu penulis laporan IPCC. "Di beberapa wilayah, kenaikan hasil panen sudah berhenti sama sekali. Menurut pendapat saya pribadi, kerusakan sistem makanan adalah ancaman terbesar akibat perubahan iklim."


Setengah abad silam, bencana yang mengancam juga tampak menyeramkan. Saat berbicara tentang kelaparan global di pertemuan Ford Foundation pada 1959, seorang ekonom berkata, "Dalam skenario terbaik, prospek dunia bebera­pa puluh tahun ke depan tampak suram; dalam skenario terburuk, prospeknya mengerikan."

Sebelum ramalan suram itu sempat terwujud, revolusi hijau mengubah pertanian global, terutama gandum dan padi. Melalui pembiakan selektif, Norman Borlaug, ahli biologi Amerika, menciptakan gandum varietas kerdil yang menggunakan sebagian besar energinya untuk membentuk bulir yang bisa dimakan, daripada batang panjang yang tidak bisa dimakan. Hasilnya: biji-bijian lebih banyak per hektare. Kerja serupa di International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina secara drastis meningkatkan produktivitas biji-bijian yang dimakan oleh hampir setengah warga dunia.

Dari 1960-an hingga 1990-an, hasil panen padi dan gandum di wilayah Asia berlipat dua. Seiring meningkatnya populasi benua itu sebesar 60 persen, harga biji-bijian jatuh, rata-rata orang Asia mengonsumsi kalori hampir sepertiga lebih banyak, dan tingkat kemiskinan turun hingga separuh.


Agar terus mampu menyediakan pangan bagi dunia antara saat ini dan 2050, kita me­merlukan revolusi hijau lagi. Ada dua visi ber­saing tentang cara mewujudkannya. Salah satunya berteknologi tinggi, dengan sangat menekankan kelanjutan pekerjaan Borlaug untuk membiakkan tanaman dengan lebih baik, tetapi dengan teknik genetika modern.

Teknologi ciri khas dalam pendekatan ini—adalah tanaman GM (Genetically Modified, di Indonesia dikenal dengan istilah GMO—Genetically Modified Organism), atau hasil modifikasi genetis. Tanaman GMO, yang pertama diperkenalkan pada 1990-an, telah diguna­kan oleh 28 negara dan ditanam di 11 persen lahan tani dunia, termasuk setengah lahan tani di AS. Sekitar 90 persen jagung, kapas, dan kacang kedelai yang tumbuh di AS adalah tanaman GMO. Warga Amerika sudah hampir 20 tahun menyantap produk GMO.
Tetapi, di Eropa dan sebagian besar Afrika, perdebatan tentang keamanan dan efek lingkungan tanaman GMO praktis menghalangi penggunaannya.

Tanaman GMO yang dirintis oleh Fraley sendiri di Monsanto menguntungkan per­usahaan dan banyak petani, tetapi tidak mem­bantu meyakinkan masyarakat untuk men­dukung pertanian teknologi tinggi. Tanaman Roundup Ready dari Monsanto dimodifikasi secara genetis agar kebal terhadap herbisida Roundup, yang juga diproduksi oleh Monsanto. Itu berarti petani bebas menyemprotkan herbisida untuk membasmi rumput liar tanpa merusak jagung, kapas, atau kacang kedelai GMO. Kontrak dengan Monsanto tidak mem­perbolehkan mereka menyimpan benih untuk ditanam; mereka harus membeli benih berpaten itu setiap tahun.

Meskipun tidak ada bukti jelas bahwa Roundup atau tanaman Roundup Ready tidak aman, para pendukung visi alternatif pertanian meng­anggap benih GMO yang berharga tinggi itu adalah input mahal bagi sistem yang rusak. Menurut mereka, pertanian modern sudah terlalu bergantung pada pestisida dan pupuk sintetis. Bukan hanya tidak terjangkau oleh petani kecil seperti Juma; pupuk ini juga mencemari tanah, air, dan udara. Pupuk sintetis dibuat dengan bahan bakar fosil, dan menghasilkan gas rumah kaca yang kuat ketika digunakan di ladang.
 
Monsanto bukan satu-satunya organisasi yang meyakini bahwa genetika tumbuhan modern dapat membantu menyediakan pangan bagi dunia. Pada senja Februari yang hangat, Glenn Gregorio, ahli genetika tumbuhan di International Rice Research Institute, me­nunjukkan padi yang mengawali revolusi hijau di Asia. Kami sedang berada di Los Baños, kota sekitar 60 kilometer di tenggara Manila, menyusuri pematang di sawah yang sangat istimewa, yang bertebaran di tanah 200 hektare milik lembaga itu.

"Inilah padi ajaib—IR8," kata Gregorio, saat kami berhenti di tepi petak berwarna seperti zamrud yang dipadati oleh padi setinggi paha. Seorang ahli patologi tumbuhan bernama Peter Jennings mengawali serangkaian eksperimen kawin silang. Ada 10.000 varietas benih padi yang dapat digarapnya. Kawin silangnya yang kedelapan—antara galur kerdil dari Taiwan dan varietas lebih jangkung dari Indonesia—menghasilkan galur yang cepat tumbuh dan tinggi hasil panennya. Hasilnya ini kemudian dinamai India Rice 8 karena perannya dalam mencegah kelaparan di negara itu. "Ini merevolusi produksi beras di Asia," kata Gregorio. "Ada orang tua di India yang menamai putranya IR8."

Sambil menyusuri sawah, kami melewati beberapa hasil pembiakan lain yang penting, masing-masing ditandai dengan plang kayu yang dicat rapi. Institut ini merilis puluhan varietas baru setiap tahun; sekitar seribu telah ditanam di seluruh dunia sejak 1960-an.

Selama puluhan tahun IRRI berfokus pada meningkatkan mutu varietas tradisional padi, yang tumbuh di sawah yang digenangi air pada saat tanam. Belakangan, institut ini mulai memperhatikan masalah perubahan iklim. IRRI kini menawarkan varietas gaga rancah yang toleran-kekeringan, termasuk yang dapat ditanam di huma dan kebutuhan airnya cukup dari hujan saja, seperti jagung dan gandum. Ada padi toleran-garam untuk negara seperti Bangladesh, karena laut yang naik di sana meracuni sawah.

Hanya sedikit varietas padi di IRRI merupakan tanaman GMO, dalam arti mengandung gen yang dipindahkan dari spesies lain, dan belum ada yang tersedia bagi umum. Salah satunya adalah Golden Rice, yang mengandung gen dari jagung agar dapat memproduksi beta-karotena. Tujuannya adalah memerangi defisiensi vitamin A, momok di seluruh dunia. Musim panas lalu, lahan uji IRRI untuk Golden Rice diinjak-injak aktivis anti-GMO. IRRI menciptakan varietas GMO hanya sebagai upaya terakhir, kata direktur Robert Zeigler, bila tidak berhasil menemukan sifat yang diinginkan pada padi itu sendiri.

Namun, seluruh operasi pembiakan institut ini telah dipercepat oleh genetika modern. Selama puluhan tahun para pemulia IRRI dengan sabar mengikuti resep kuno: Pilih tanaman yang memiliki sifat yang diinginkan, lakukan penyerbukan silang, tunggu sampai keturunannya besar, pilih yang terbaik, ulangi. Kini, ada alternatif bagi proses yang melelahkan itu. Pada 2004 konsorsium peneliti internasional memetakan seluruh genom padi, yang terdiri atas sekitar 40.000 gen individu. Sejak saat itu, peneliti di seluruh dunia sudah berhasil menentukan beberapa gen yang mengontrol sifat bermanfaat dan dapat dipilih langsung.

 Pada 2006, misalnya, ahli patologi tumbuhan Pamela Ronald dari University of California, Davis, mengisolasi gen bernama Sub1 dari varietas padi India Timur. Kini jarang ditanam karena hasil panennya rendah, padi India Timur ini memiliki satu ciri yang istimewa: Masih hidup setelah dua minggu terendam air. Sebagian besar varietas mati setelah tiga hari.

 
Peneliti di IRRI melakukan penyerbukan silang padi Sub1 dengan varietas yang enak rasa­nya dan hasil panen tinggi bernama Swarna, yang populer di India dan Banglades. Lalu, mereka memeriksa DNA-nya untuk me­­nentukan bibit mana yang mewarisi gen Sub1.

Teknologi ini, yang disebut pemulian ber­bantukan penanda (marker-assisted breeding), lebih akurat dan menghemat waktu. Peneliti tak perlu menanam bibit, me­meliharanya, lalu merendamnya selama dua minggu untuk melihat mana yang bertahan hidup.

Padi toleran-banjir yang baru ini, dinamai Swarna-Sub1, telah ditanam oleh hampir empat juta petani di Asia, yang sekitar 20 juta hektare sawahnya dirusak banjir setiap tahun. Sebuah kajian baru-baru ini menemukan bahwa petani di 128 desa di negara bagian Odisha di India, di Teluk Benggala, meningkatkan hasil panen lebih dari 25 persen. Petani termiskinlah yang paling diuntungkan. "Kasta-kasta terendah di India diberi tanah terburuk, dan tanah terburuk di Odisha rentan oleh banjir," kata Zeigler. "Jadi, ini ada bioteknologi yang sangat canggih—padi toleran-banjir—yang secara selektif menguntungkan yang termiskin dari termiskin, kasta Paria. Itu kisah yang hebat, menurut saya."

Proyek paling ambisius dari institut ini akan mengubah padi secara mendasar dan mungkin meningkatkan hasil panen secara drastis. Padi, gandum, dan banyak tumbuhan lain menggunakan sejenis fotosintesis yang disebut C3, karena menghasilkan senyawa tiga-karbon saat menyerap cahaya matahari. Jagung, tebu, dan sebagian tumbuhan lain menggunakan fotosintesis C4. Tanaman seperti itu memerlukan air dan nitrogen jauh lebih sedikit daripada tanaman C3, "dan biasanya hasil panennya 50 persen lebih tinggi," kata William Paul Quick dari IRRI. Dia berencana mengonversi padi menjadi tanaman C4 dengan memanipulasi gennya sendiri.

Tidak seperti toleransi terhadap perendaman pada padi Sub1, fotosintesis C4 dikontrol oleh banyak gen, tidak hanya satu, sehingga menggunakan sifat ini merupakan pekerjaan menantang. Di sisi lain, kata Quick, "sifat ini telah 62 kali berevolusi sendiri. Itu menandakan bahwa memperoleh sifat tersebut sebenarnya tidak terlalu sulit."


Dengan "menyingkirkan" gen satu per satu, dia dan rekan-rekannya secara sistematis mengidentifikasi semua gen yang berperan dalam fotosintesis pada Setaria viridis, sejenis rumput C4 yang kecil dan cepat tumbuh. Sejauh ini, semua gen yang mereka temukan itu ada juga pada tumbuhan C3. Hanya penggunaannya saja yang berbeda.

Quick dan rekan-rekannya berharap bisa mengetahui cara mengaktifkannya pada padi. "Kami memperkirakan perlu minimal 15 tahun untuk melakukannya," kata Quick. "Sekarang sudah masuk tahun keempat." Jika mereka berhasil, teknik yang sama mungkin dapat membantu menaikkan produktivitas kentang, gandum, dan tumbuhan C3 lain. Ini akan menjadi anugerah tak terkira bagi ketahanan pangan; secara teori, hasil panen dapat melonjak 50 persen.

Karena prospek seperti itulah, Zeigler men­jadi pendukung bioteknologi yang menggebu-gebu. Berjanggut putih dan bersifat kebapakan, Zeigler berpendapat bahwa perdebatan masyarakat tentang tanaman GMO sudah terlalu kabur. "Saat saya memulai pada tahun 60-an, banyak di antara kami terjun ke rekayasa genetika karena berharap dapat bersumbangsih besar bagi dunia," katanya. "Kami berpikir, alat-alat ini hebat!


"Kami memang merasa agak terkhianati oleh gerakan lingkungan, jujur saja. Kalau ingin membahas peran yang tepat bagi perusahaan besar dalam persediaan makanan, kita bisa membahas itu—itu topik yang sangat penting. Tetapi, pembahasannya berbeda dengan apakah kita boleh menggunakan alat-alat genetika untuk memperbaiki mutu tanaman. Keduanya penting, tetapi jangan dicampur-adukkan."

Zeigler memilih kariernya setelah bekerja sebagai guru IPA di Korps Perdamaian pada 1972. "Selagi berada di Republik Demokratik Kongo, saya pernah melihat kelangkaan ubi kayu," katanya. "Itulah yang mendorong saya menjadi ahli patologi tumbuhan."

Visi pertanian mana yang tepat bagi petani di Afrika sub-Sahara? Sekarang ini, kata Nigel Taylor, ahli genetika di Donald Danforth Plant Science Center di St. Louis, Missouri, AS, virus brown streak berpotensi menyebabkan kelangkaan ubi kayu lagi. "Virus ini mewabah dalam lima hingga sepuluh tahun terakhir, dan semakin parah," katanya. "Karena suhu naik, jangkauan lalat putih pun meluas. Yang paling dicemaskan, virus ini mulai masuk ke Afrika tengah, dan jika sampai melanda wilayah luas penghasil ubi kayu di Afrika Barat, akan timbul masalah ketahanan pangan yang besar."

 Taylor dan peneliti lain sedang dalam tahap awal mengembangkan varietas ubi kayu GMO yang kebal terhadap virus brown streak. Taylor bekerja sama dengan para peneliti Uganda untuk uji lapangan, dan sebuah uji lain sedang berlangsung di Kenya. Namun, saat ini hanya empat negara Afrika—Mesir, Sudan, Afrika Selatan, dan Burkina Faso—yang mengizinkan penanaman tanaman GMO secara komersial.


Di Afrika, seperti di tempat lain, orang takut pada tanaman GMO, meskipun hampir tidak ada bukti ilmiah yang membenarkan rasa takut itu. Ada argumen lain yang lebih kuat, bahwa biakan tanaman teknologi tinggi bukanlah obat mujarab, dan bahkan mungkin bukan yang paling diperlukan petani Afrika. Di Amerika Serikat pun, sebagian petani mengalami masalah dengan tanaman GMO.

Makalah yang terbit Maret lalu, misalnya, men­dokumentasikan tren yang meresahkan: Cacing akar jagung berevolusi sehingga resistan terhadap racun bakteri pada jagung Bt. "Saya terkejut ketika melihat data itu, karena me­nyadari implikasinya—bahwa teknologi ini mulai gagal," kata Aaron Gassmann, ahli ento­mologi di Iowa State University dan salah seorang penulis laporan itu. Salah satu masalahnya, katanya, sebagian petani tidak mematuhi ketentuan sesuai undang-undang untuk menanami "ladang suaka" dengan jagung non-Bt, yang memperlambat penyebaran gen resistan dengan cara memberi makan untuk cacing akar yang rentan terhadap racun Bt.

Di Tanzania belum ada tanaman GMO. Tetapi, sebagian petani kini mengetahui bahwa solusi teknologi rendah sederhana—menanam beragam tanaman—adalah salah satu cara terbaik untuk melawan hama. Jumlah petani organik bersertifikat di Tanzania kini terbanyak keempat di dunia. Ini sebagian berkat seorang gadis bernama Janet Maro.

Maro dibesarkan di pertanian di dekat Kilimanjaro, anak kelima dari delapan bersaudara.

Pada 2009, sewaktu masih kuliah S-1 di Sokoine University of Agriculture di Morogoro, dia membantu mendirikan lembaga nirlaba yang disebut Sustainable Agriculture Tanzania (SAT). Sejak itu, dia dan staf kecilnya melatih petani setempat mengenai praktik bertani secara organik. Kini SAT didukung oleh Biovision, sebuah organisasi Swiss yang dikepalai oleh Hans Herren.

Morogoro terletak sekitar 160 kilometer di sebelah barat Dar es Salaam, di kaki Pegunungan Uluguru. Beberapa hari setelah mengunjungi Juma di Bagamoyo, saya diajak Maro ke pegunungan untuk mengunjungi tiga di antara beberapa pertanian organik bersertifikat pertama di Tanzania. "Agen pertanian tak pernah kemari," katanya sementara kami naik pikap mendaki jalan tanah terjal dan bergalur. Dihijaukan oleh hujan yang melayang masuk dari Samudra India, lereng ini masih berhutan lebat. Tetapi, makin lama makin luas lahan yang dibuka untuk pertanian oleh orang Luguru.

Kira-kira setiap setengah kilometer kami berpapasan dengan perempuan yang berjalan sendirian atau berkelompok kecil, menyunggi keranjang ubi kayu, pepaya, atau pisang. Hari itu adalah hari pasar di Morogoro, 900 meter di bawah kami. Perempuan di sini bukanlah sekadar kuli. Bagi orang Luguru, kepemilikan tanah dalam keluarga diwariskan melalui garis perempuan. "Kalau perempuan tidak menyukai seorang lelaki, lelaki itu bisa diusir!" kata Maro.

Dia singgah di rumah satu ruangan, dengan tembok batu bata yang diplester sebagian dan beratapkan seng. Habija Kibwana, perempuan jangkung dengan blus putih lengan pendek dan rok lilit, mengajak kami dan dua tetangga lainnya duduk di serambi.

 Tidak seperti petani di Bagamoyo, Kibwana dan tetangganya menanam beragam tanaman: Sekarang sedang musim pisang, avokad, dan markisa. Tak lama lagi mereka akan me­nanam wortel, bayam, dan sayur berdaun lain, semuanya untuk konsumsi lokal. Dengan mencampur tanaman ini, ada cadangan kalau salah satu tanaman gagal; ini juga membantu mengurangi hama.
 
Petani di sini mulai pandai bercocok tanam secara strategis, mengatur baris-baris Tithonia diversifolia, bunga matahari liar yang disukai lalat putih, untuk mengalihkan hama tersebut dari ubi kayu. Penggunaan kompos sebagai pengganti pupuk sintetis telah meningkatkan mutu tanah sehingga salah seorang petani, Pius Paulini, dapat melipatgandakan produksi bayamnya. Limpasan dari ladangnya tak lagi mencemari sungai yang memasok persediaan air untuk Morogoro.

Mungkin hasil pertanian organik yang paling mengubah kehidupan adalah kebebasan dari utang. Dengan subsidi pemerintah pun, harga pupuk dan pestisida untuk merawat lahan seluas setengah hektare bisa mencapai 500.000 shilling Tanzania atau 3,5 juta rupiah—jumlah yang mencekik leher di negara yang pendapatan tahunan per kapitanya kurang dari 19 juta rupiah. "Dulu, sewaktu harus membeli pupuk, kami tidak punya sisa uang untuk menyekolahkan anak," kata Kibwana. Putri sulungnya kini sudah tamat dari SMA.

Dan pertaniannya juga lebih produktif. "Sebagian besar makanan di pasar kami berasal dari petani kecil," kata Maro. "Mereka yang memberi makan bangsa kami."

Ketika saya bertanya kepada Maro, mungkinkah benih GMO juga dapat membantu para petani tersebut, dia skeptis. "Tidak realistis," katanya. Bagaimana mungkin mereka mampu membeli benih itu, kalau pupuk pun tak terbeli? Dia bertanya, di negara yang petaninya jarang didatangi oleh penyuluh pertanian pemerintah, atau bahkan jarang mengetahui penyakit yang mengancam tanaman mereka, seberapa mungkin mereka akan memperoleh dukungan yang diperlukan, untuk menanam tanaman GMO dengan benar?

Dari serambi Kibwana, kami dapat me­mandang luas ke lereng yang dibudidayakan dengan baik—tetapi juga ke lereng yang dilukai oleh ladang-ladang cokelat terkikis milik petani nonorganik, yang sebagian besar tidak membuat teras untuk mempertahankan tanah yang berharga. Kata Kibwana dan Paulini, kesuksesan mereka sendiri menarik perhatian para tetangga. Pertanian organik sedang menyebar di sini. Tetapi, penyebarannya lambat.

 Itulah masalah utamanya, pikir saya saat me­ninggalkan Tanzania: menyampaikan pe­ngetahuan yang bermanfaat dari organisasi seperti SAT atau IRRI ke petani seperti Juma. Masalahnya bukan memilih satu jenis pe­ngetahuan—teknologi rendah versus tinggi, organik versus GMO—untuk selama­nya. Terdapat lebih dari satu cara untuk meningkatkan hasil panen atau menghentikan lalat putih. "Pertanian organik mungkin adalah pendekatan yang tepat di beberapa wilayah," kata eksekutif Monsanto Mark Edge. "Kami tidak beranggapan bahwa tanaman GMO adalah solusi untuk semua masalah di Afrika." Sejak revolusi hijau pertama, kata Robert Zeigler, ilmu ekologi maju seiring genetika. IRRI memanfaatkan kemajuan itu juga.

"Lihat burung kuntul yang terbang di sana?" tanyanya menjelang akhir percakapan kami. Di luar kantornya, sekawanan burung itu turun di sawah hijau; pegunungan di kejauhan berpendar dengan cahaya malam. "Pada awal 90-an, di sini tidak pernah terlihat burung. Pestisida yang kami gunakan mematikan burung dan keong dan semua makhluk lain.

 Lalu, kami berinvestasi besar untuk memahami struktur ekologi padi. Ada jaring-jaring rumit dan, jika diganggu, akan terjadi wabah hama. Kami kini tahu bahwa pada umumnya, pestisida tidak diperlukan. Padi itu tanaman yang tangguh. Ketahanan dapat dikembangkan pada padi itu sendiri. Ekologi kami di sini sekarang sangat kaya, dan hasil panen kami belum pernah turun.
"Pada waktu-waktu tertentu pada suatu hari, jumlah burung kuntul bisa sampai seratusan. Melihatnya benar-benar menggugah. Situasi ini dapat membaik."
---

sumber:
 http://nationalgeographic.co.id/feature/2014/10/babak-baru-revolusi-hijau/8

Artikel terakhir Tim Folger ada di edisi September 2013 tentang kenaikan permukaan laut. Ini artikel pertama fotografer Craig Cutler untuk majalah ini.






 


Comments

Popular posts from this blog

Kegenitan Kampus Undip

Sulit mencari ungkapan  tepat untuk mengungkapkan kampus baru Universitas Diponegoro di Tembalang, Semarang Provinsi Jawatengah. Memang ada jargon kampus yaitu kampus keanekaragaman hayati. Pohon-pohon dibiarkan tetap tumbuh demikian pula semak-semak bahkan ada 2 ekor sapi yang mencari rumput di area kampus. Sapi di area kampus? Begitu banyak kampus, baru sekarang penulis melihat sapi merumput dan memamah biak rumputnya dengan santai. Kebetulan hujan sedang turun, apabila tidak bisa dibayangkan ada banyak burung, kupu-kupu, belalang dan beragam serangga lainnya bersenda gurau diantara pepohonan yang asri tersebut. jalan masuk kampus Undip dan beragam bangunan fakultas di kanan kirinya Kampus baru Universitas Diponegoro ini begitu bersolek. Ada patung Diponegoro berkuda menyambut pengunjung. Ada dua gedung kembar di kanan dan kiri jalan menuju area kampus. Bak  pager bagus menyambut kedatangan siapapun yang ingin menikmati keindahan  kampus Undip. Dan tidak seperti kampus

Dampak Pemanasan Global Bagi Kesehatan

Perubahan iklim membawa pengaruh besar terhadap kesehatan manusia, kehidupan sosial, dan lingkungan tempat tinggal kita. Manusia terancam kekurangan air bersih, sumber-sumber makanan, dan tempat tinggal yang layak huni. Demikian kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di dalam rilisnya. Antara tahun 2030 - 2050, perubahan iklim diduga akan menyebabkan kenaikan angka kematian sebesar 220 ribu jiwa per tahun akibat malanutrisi, diare, dan udara panas. Pemanasan global Selama lebih dari 50 tahun, aktivitas manusia, terutama pembakaran fosil, seperti batu bara dan minyak bumi, telah melepas sejumlah besar karbon dioksida dan emisi gas lainnya. Gas-gas ini kemudian terperangkap di bawah lapisan atmosfer dan menyebabkan pemanasan global. Dalam 130 tahun terakhir, dunia telah menghangat sekitar 0,85 derajat C. Tiga dekade terakhir ini atau terhitung sejak 1850, bumi menjadi lebih panas dari sebelumnya. Akibatnya, lapisan es bumi mencair, permukaan laut naik, dan pola pr

Bauran Energi 25-25, Strategi Indonesia Hadapi Krisis Energi

bauran energi 2025 Aksi protes pro demokrasi  di berbagai negara Arab menyusul mundurnya presiden Tunisia dan Mesir mengakibatkan harga minyak dunia melesat diatas US $104 per barel . Harga yang relative sulit turun mengingat situasi yang makin memanas. Iran berupaya mengirim kapal-kapal angkatan laut ke kawasan Mediterania dan Pemimpin Libya, Muammar Khadafi memerintahkan mengganggu ekspor minyak Libya dengan menghancurkan pipa ke Mediterania Tertanggal 23 Februari 2011, Libya menyatakan force majeur dan efektif membatalkan kontrak minyak. Padahal Libya merupakan pemilik cadangan minyak terbesar di Afrika sebesar 42 miliar barel dan menjadi produsen ke empat terbesar di Afrika dengan produksi 1,8 juta barel per hari. Sedangkan Bahrain, Yaman, Aljazair, Libya dan Iran - mewakili sepuluh persen dari produksi minyak mentah dunia,” Tanpa tragedy dan ketegangan yang meningkat di Timur Tengah dan Afrika Utara, para  pe