Skip to main content

Menjelang Krisis Air Di Kota Pekalongan



Awal tahun 2014, air di bak mandi yang bersumber dari sumur di rumah Ayub Khan, di Kelurahan Pringlangu, Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan, berubah warnanya. Air yang semula jernih telah berubah menjadi  merah tua, berbusa dan baunya sangat menyengat. Ayub Khan bertambah kaget saat melihat ikan-ikan yang ada di kolamnya tiba-tiba mati.


Diduga, berubahnya warna air sumur dan matinya ikan-ikan di kolamnya karena tercemar limbah batik serta usaha pencucian jin yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. “Sejak mengetahui air sumur  tercemar limbah, saya tidak berani lagi menggunakan air sumur untuk mandi. Apalagi untuk dikonsumsi sehari-hari. Saya beralih menggunakan air PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum),” terangnya, Kamis (26/6).


Di tempat terpisah, sumur-sumur warga di Kelurahan Pabean, Kecamatan Pekalongan Utara, airnya juga berubah warna. “Airnya berasa asin dan warnanya berubah-ubah. Kadang coklat, kadang merah,” tutur Hidayat, salah seorang warga Kelurahan Pabean saat mengantre air bersih di lokasi kran air yang bersumber dari sumur program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) di kelurahan tersebut.

Setelah sumur warga tidak bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga Kelurahan Pabean sepenuhnya bergantung pada air Pamsimas dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setiap sore, warga antre di sejumlah titik lokasi kran air Pamsimas untuk mendapatkan air bersih.

Sementara itu, warga di Kelurahan Pasirsari, Kecamatan Pekalongan Barat sudah terlebih dahulu kehilangan sumber air bersih karena sumur-sumur warga airnya juga tidak bisa dikonsumsi karena tercemar limbah batik. Warga di Kelurahan Pasirsari juga mengandalkan sumur Pamsimas untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Namun jika sumur Pamsimas rusak, warga harus mengambil air bersih hingga ke luar wilayah. Yakni di Desa Tegaldowo, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan.

Berdasarkan pengujian yang dilakukan Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Kota Pekalongan di sumur warga di Kelurahan Pringlangu pada Maret lalu, menunjukkan kandungan beberapa zat melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 907/MENKES/SK/VII Tahun 2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Di antaranya kadmium.
Dari hasil analisa, kandungan kadmium air sumur tersebut 0,007 miligram per liter. Sedangkan kadar maksimum yang diperbolehkan 0,03 miligram per liter. Sementara dari parameter fisik, warna air keruh kekuningan, berbau dan berasa. Temperatur mencapai 27,6 derajat celsius. Sedangkan temperatur yang diperbolehkan kurang lebih 3 derajat celsius.

Hasil pemeriksaan sampel air sumur warga di Kelurahan Pasirsari yang dilakukan KLH Kota Pekalongan pada tahun 2011 menunjukkan kandungan beberapa zat juga melebihi baku mutu yang disyaratkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Di antaranya tembaga (cu), mangan (Mn) dan amonia (NH3N).

Pada sampel pertama, kandungan tembaga 0,20 miligram per liter, dan sampel kedua mencapai 2,49 miligram per liter melebihi standar baku mutu tembaga yang hanya 0,02 miligram per liter. Untuk mangan, pada sampel pertama 1,54 miligram per liter, dan sampel kedua 1,65 miligram per liter. Kandungan mangan dua sampel tersebut melebihi baku mutu yang ditetapkan, yakni  0,1 miligram per liter. Kandungan amonia pada sampel pertama 0,83 miligram per liter, dan pada sampel kedua 0,63 miligram per liter. Sementara baku mutu amonia 0,5 miligram per liter.

Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Pekalongan, dari target cakupan penduduk yang mengakses air bersih sebanyak 290.347 jiwa pada tahun ini, hingga Maret 2014 terealisasi 65,96 persen. Artinya, penduduk yang sudah mengakses air minum layak dan berkelanjutan baru tercatat 191.522 jiwa.

Sehingga masih ada 98.825 jiwa belum mengakses air minum layak dan berkelanjutan. Menurut Kepala Bappeda Kota Pekalongan Sri Ruminingsih, kebutuhan air bersih itu terpenuhi dari PDAM dan Pamsimas. Sementara sebagian warga memenuhi kebutuhan air bersih dari sumur gali.

Limbah
Kelurahan Pringlangu, Pasirsari dan Pabean merupakan sentra batik di Kota Pekalongan. Berdasarkan data Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (Disperindagkop dan UMKM) Kota Pekalongan, di Kota Pekalongan terdapat 502 unit usaha batik yang tersebar di 16 sentra batik.

Di Kelurahan Pringlangu terdapat 44 unit usaha batik dengan produksi 33.904 kodi  per tahun. Sedangkan di Kelurahan Pabean terdapat 18 unit usaha batik dengan produksi 19.215 kodi per tahun, dan di Kelurahan Pasirsari terdapat 79 unit usaha batik dengan produksi 115.533 kodi per tahun.



Setelah Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya (UNESCO) menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non Bendawi Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada 2 Oktober 2009, batik Pekalongan semakin menggeliat setelah sempat terdesak printing (kain bermotif batik). Permintaan batik Pekalongan meningkat tajam. Sejumlah perajin batik kebanjiran pesanan batik dari konsumen dari berbagai daerah di Nusantara. Dari catatan Disperindagkop dan UMKM Kota Pekalongan, sebanyak 502 unit usaha tersebut setiap tahun memproduksi 1.147.854 kodi.

Namun, di tengah meningkatnya permintaan batik, pencemaran sungai semakin parah. Sungai-sungai di Kota Pekalongan airnya berwarna kehitaman karena banyak industri batik rumah tangga dan industri rumah lainnya membuang limbah produksi ke sungai, tanpa diolah terlebih dahulu.

Dari ratusan unit usaha batik yang ada di Kota Pekalongan, saat ini hanya ada dua Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal. Yakni di Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan dan Kelurahan Kauman, Kecamatan Pekalongan Timur. Namun, kapasitas IPAL di kedua kelurahan tersebut tidak mampu menampung limbah batik yang dihasilkan semua unit usaha batik di kelurahan tersebut.

Kapasitas IPAL di Kelurahan Jenggot hanya 400 meter kubik. Sedangkan, limbah cair yang diproduksi 48 unit usaha batik di kelurahan tersebut mencapai 2.000 meter kubik  setiap hari. Sementara di Kelurahan Kauman, 28 unit usaha batik setiap hari memproduksi limbah cair sebanyak 200 meter kubik. Sedangkan, kapasitas IPAL komunal hanya 130 meter kubik. Sementara di sentra-sentra batik lainnya tidak ada IPAL.
Karena tidak ada IPAL, limbah cair yang dihasilkan dari produksi batik di sejumlah kelurahan dilarutkan ke sungai ataupun saluran air yang terdekat dengan rumah produksi mereka. Ketua Serikat  Pembatik Pasirsari (Serbapas) Sodhikin mengatakan, perajin batik di Kelurahan Pasirsari terpaksa membuang limbah batik ke sungai karena di kelurahan tersebut tidak ada IPAL. “Pembatik terpaksa membuang limbah produksi ke Sungai Bremi karena di sini belum ada IPAL,” kata Sodhikin.

Ia mengakui, pembuangan limbah batik ke sungai membuat lingkungan dan sungai tercemar. Apalagi wilayah Pasirsari merupakan kawasan yang rentan terendam banjir dan rob. Sehingga saat sungai meluap, air yang tercampur limbah tersebut akan menggenangi rumah warga. Menurut dia, pihaknya sudah mengajukan permintaan pembangunan IPAL di Kelurahan Pasirsari untuk menangani limbah batik di kelurahan tersebut. Namun, hingga saat ini belum terealisasi. "Keberadaan IPAL sangat penting untuk mengatasi pencemaran sungai akibat pembuangan limbah. Karena itu, kami berharap Pemkot Pekalongan segera memberikan solusi sehingga pencemaran lingkungan bisa segera teratasi, dan perajin bisa terus berproduksi tanpa harus membuang limbah batik ke sungai,” harapnya.

Berdasarkan data KLH Kota Pekalongan tentang sentra industri kecil yang air limbahnya berpotensi mencemari lingkungan, setiap hari sebanyak 4.432,9 meter kubik limbah cair di buang ke sungai-sungai di Kota Pekalongan. Limbah cair itu dihasilkan oleh aktivitas produksi 1.054 unit usaha.



Dari total volume limbah cair itu, sebanyak 34,72 persen atau sekitar 1.539 meter kubik limbah dihasilkan dari 481 unit usaha batik. Selebihnya dihasilkan dari produksi usaha makanan tahu tempe, printing (kain motif batik) dan sablon, pencucian jin, pencelupan produk Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dan pengolahan ikan. Sungai Asam Binatur, misalnya. Sungai sepanjang 8,5 kilometer dan lebar 10 kilometer ini, warna airnya kehitam-hitaman dan kecepatan aliran air lambat, serta berbau menyengat. Hal ini dikarenakan beban pencemaran yang masuk banyak, sedangkan debit air kurang.

Berdasarkan data KLH tersebut, tercatat ada 189 unit usaha yang air limbahnya dibuang ke Sungai Asam Binatur. Di antaranya industri printing, sablon, batik dan pencelupan produk ATBM di Kelurahan Jenggot dan Kelurahan Kradenan, Kecamatan Pekalongan Selatan serta Kelurahan Medono, Kecamatan Pekalongan Barat. Total volume limbah cair yang dibuang ke Sungai Asam Binatur sebesar 879,5 meter kubik perhari.

Hasil pemantauan air Sungai Asam Binatur oleh KLH Kota Pekalongan pada 5 Mei 2014, menunjukkan kandungan beberapa zat melebihi baku mutu yang disyaratkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001. Di antaranya biological oxygen demand (BOD), chemical oxygen demand (COD) dan khlorin.
Berdasarkan hasil analisa, kandungan BOD mencapai 19 miligram per liter, sementara baku mutu 2 miligram per liter. Sedangkan kandungan COD mencapai 59,51 miligram per liter, sementara baku mutu COD 10 miligram per liter. Kandungan khlorin mencapai 0,50 miligram per liter, sedangkan baku mutu 0,03 miligram per liter. Sementara itu, dari pengamatan di Sungai Asam Binatur tampak secara fisik air berwarna kehitaman, berbusa dan berbau menyengat.

Sungai Asam Binatur hanyalah satu dari lima daerah aliran sungai (DAS) yang mengalir di Kota Pekalongan yang paling banyak menerima limbah, baik dari industri maupun domestik. Empat DAS lainnya adalah Sungai Bremi, Sungai Banger, Sungai Pekalongan dan Sungai Meduri. Dari data hasil pengujian kualitas air tahun 2010 KLH Kota Pekalongan di lima DAS menunjukkan, parameter kualitas air sungai melebihi baku mutu, terutama BOD dan COD.

IPAL


Pencemaran sungai akibat limbah batik harus segera diatasi untuk menjaga air tetap lestari. Salah satunya dengan mengolah limbah batik. Karena jika limbah batik tidak diolah, air bersih bisa terancam punah.
Wali Kota Pekalongan M Basyir Ahmad mengatakan, Pemerintah Kota (Pemkot) Pekalongan akan memperbanyak jumlah IPAL batik untuk mengatasi limbah batik. Menurutnya, selama ini Pemkot Pekalongan terus berupaya agar para pelaku usaha batik membuat IPAL sederhana, namun kebanyakan pengusaha batik masih membebankan pengolahan limbah ke Pemkot.  Di sisi lain, Pemkot Pekalongan juga gencar menyosialisasikan penggunaan pewarna alam dalam proses pembuatan batik. "Pemkot terus mendorong perajin untuk memproduksi batik menggunakan pewarna alam yang ramah lingkungan sehingga bisa mengurangi pencemaran,” terangnya.

Kepala KLH Kota Pekalongan Slamet Budiyanto mengatakan, untuk mengurangi pencemaran sungai, tahun ini KLH Kota Pekalongan akan membangun sepuluh IPAL untuk pelaku industri batik. “Sebanyak sepuluh IPAL batik sederhana akan dibangun di Kelurahan Pabean dan Kelurahan Tirto sebagai upaya untuk mengurangi pencemaran sungai,” jelasnya.

Kasi Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) KLH Kota Pekalongan Supriyatno menambahkan, KLH Kota Pekalongan tidak bisa membangun IPAL di semua sentra batik karena kondisi geografis. Ia mencontohkan, secara topografi, letak  tanah di Kelurahan Pasirsari lebih rendah dari permukaan laut. Sehingga untuk membuat IPAL perlu kajian mendalam. “Jika tanah lebih rendah dari permukaan laut, dimungkinkan pipa-pipa saluran yang terhubung langsung ke rumah produksi tidak mampu mengalir optimal ke IPAL,” paparnya.


Sementara itu, warga yang tergabung dalam Majelis Dzikir Kraton terketuk hati untuk mencarikan solusi kala melihat pencemaran sungai semakin memprihatinkan. Mereka kemudian melakukan percobaan dengan menggunakan mikroba terb untuk mengatasi pencemaran sungai akibat limbah batik. “Kami mengembangkan mikroba pengurai yang mampu mengurai bahan-bahan kimia berbahaya,” terang Sekretaris Majelis Dzikir Kraton Zaenal Arifin. Bersama tim Divisi Lingkungan Majelis Dzikir Kraton, ia melakukan percobaan pertama di rumah produksi batik di Desa Sepacar, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan.
Menurut Zaenal, selama bertahun-tahun, limbah batik di rumah produksi batik tersebut dibuang di sebuah kolam penampungan berukuran 2 meter x 5 meter. Hal itu berdampak terhadap tanah di sekitar menjadi keras. Rumput mati dan tanah menjadi gersang. Kolam penampungan tersebut kemudian diberi mikroba terb secara rutin seminggu dua kali, antara 25 liter hingga 35 liter. “Dalam kurun waktu satu bulan, tanah yang tadinya keras menjadi gembur. Rumput-rumput juga menjadi subur. Dari kolam limbah tumbuh tanaman. Selain itu, jika sebelumnya pohon mangga tidak mau berbuah, kini berbuah dan pertumbuhannya sangat baik,” terangnya.

Tim kemudian melakukan percobaan lain di Kelurahan Krapyak Lor, Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan. Di Krapyak Lor, tim membuat instalasi pengolahan air limbah terdiri dari bak  penampungan, bak penguraian, bak penyaringan dan bak pembuangan. Pada bak penguraian diberi daun-daunan, seperti daun ketapang, daun kelapa, daun lamtoro, daun nangka, dan daun jambu biji serta cacahan batang pohon pisang. Kemudian diberi mikroba terb dengan perbandingan 1 liter mikroba, 50 liter air.


Setelah itu, air mengalir ke bak penyaringan yang berisi pasir, dakron dan batu zeolit. Air dari bak penyaringan kemudian dialirkan ke bak pembuangan. “Hasilnya, air lebih jernih. Dan, keasaman air 7. Ketika air hasil penguraian dicampur dengan kolam ikan dan tanaman air, ikan bisa hidup. Begitu juga tanaman air. Sehingga saat dibuang ke sungai sudah bersih,” terang Luthfi Ashari, anggota Tim Divisi Lingkungan Majelis Dzikir Kraton.

Mereka berharap, melalui pengolahan limbah sederhana itu bisa membangkitkan kesadaran para perajin batik untuk mengolah limbah produksinya. Harapannya, pencemaran bisa dikurangi sehingga air bisa tetap lestari.

 http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/layar/2014/06/29/1161/Limbah-Batik-Tidak-Diolah-Air-Bersih-Terancam-Punah
(Isnawati/CN38)

Comments

Popular posts from this blog

Kegenitan Kampus Undip

Sulit mencari ungkapan  tepat untuk mengungkapkan kampus baru Universitas Diponegoro di Tembalang, Semarang Provinsi Jawatengah. Memang ada jargon kampus yaitu kampus keanekaragaman hayati. Pohon-pohon dibiarkan tetap tumbuh demikian pula semak-semak bahkan ada 2 ekor sapi yang mencari rumput di area kampus. Sapi di area kampus? Begitu banyak kampus, baru sekarang penulis melihat sapi merumput dan memamah biak rumputnya dengan santai. Kebetulan hujan sedang turun, apabila tidak bisa dibayangkan ada banyak burung, kupu-kupu, belalang dan beragam serangga lainnya bersenda gurau diantara pepohonan yang asri tersebut. jalan masuk kampus Undip dan beragam bangunan fakultas di kanan kirinya Kampus baru Universitas Diponegoro ini begitu bersolek. Ada patung Diponegoro berkuda menyambut pengunjung. Ada dua gedung kembar di kanan dan kiri jalan menuju area kampus. Bak  pager bagus menyambut kedatangan siapapun yang ingin menikmati keindahan  kampus Undip. Dan tidak seperti kampus

Dampak Pemanasan Global Bagi Kesehatan

Perubahan iklim membawa pengaruh besar terhadap kesehatan manusia, kehidupan sosial, dan lingkungan tempat tinggal kita. Manusia terancam kekurangan air bersih, sumber-sumber makanan, dan tempat tinggal yang layak huni. Demikian kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di dalam rilisnya. Antara tahun 2030 - 2050, perubahan iklim diduga akan menyebabkan kenaikan angka kematian sebesar 220 ribu jiwa per tahun akibat malanutrisi, diare, dan udara panas. Pemanasan global Selama lebih dari 50 tahun, aktivitas manusia, terutama pembakaran fosil, seperti batu bara dan minyak bumi, telah melepas sejumlah besar karbon dioksida dan emisi gas lainnya. Gas-gas ini kemudian terperangkap di bawah lapisan atmosfer dan menyebabkan pemanasan global. Dalam 130 tahun terakhir, dunia telah menghangat sekitar 0,85 derajat C. Tiga dekade terakhir ini atau terhitung sejak 1850, bumi menjadi lebih panas dari sebelumnya. Akibatnya, lapisan es bumi mencair, permukaan laut naik, dan pola pr

Bauran Energi 25-25, Strategi Indonesia Hadapi Krisis Energi

bauran energi 2025 Aksi protes pro demokrasi  di berbagai negara Arab menyusul mundurnya presiden Tunisia dan Mesir mengakibatkan harga minyak dunia melesat diatas US $104 per barel . Harga yang relative sulit turun mengingat situasi yang makin memanas. Iran berupaya mengirim kapal-kapal angkatan laut ke kawasan Mediterania dan Pemimpin Libya, Muammar Khadafi memerintahkan mengganggu ekspor minyak Libya dengan menghancurkan pipa ke Mediterania Tertanggal 23 Februari 2011, Libya menyatakan force majeur dan efektif membatalkan kontrak minyak. Padahal Libya merupakan pemilik cadangan minyak terbesar di Afrika sebesar 42 miliar barel dan menjadi produsen ke empat terbesar di Afrika dengan produksi 1,8 juta barel per hari. Sedangkan Bahrain, Yaman, Aljazair, Libya dan Iran - mewakili sepuluh persen dari produksi minyak mentah dunia,” Tanpa tragedy dan ketegangan yang meningkat di Timur Tengah dan Afrika Utara, para  pe