Skip to main content

Buku "Kehausan di Ladang Air" yang diluncurkan di Hari Air


133251545994317074
Buku dan penulisnya, Zaki Yamani


Secara turun temurun air diperlakukan sebagai hak asasi, yaitu hak yang muncul dari kodrat manusia, kondisi historis, ………………… Sebagai hak asasi manusia, hak atas air merupakan hak guna, air boleh dimanfaatkan, tetapi tidak bisa dimiliki. Manusia berhak untuk hidup dan berhak atas sumber daya untuk keberlangsungan hidupnya, seperti air.

Penggalan buah pemikiran Vandana Shiva, seorang pemikir dan aktivis lingkungan hidup tersebut  menyapa siapapun yang datang pada peluncuran buku “Kehausan di Ladang Air”, Pencurian Air di Kota Bandung dan Hak Warga yang Terabaikan.

Diluncurkan pada tanggal 22 Maret 2012 bertepatan dengan Hari Air Internasional, di Simpul Space, BCCF, Jalan Purnawarman nomor 70 Bandung, tempat ajang kreativitas warga Bandung bertemu dan beradu. Berlangsung dari sore dimana isi buku dikupas dan permasalahan air didiskusikan dengan narasumber yang terkait . Hingga malam hari karena bukan kota Bandung namanya apabila ajang kreativitas seni musik tidak diberi ruang untuk menunjukkan eksistensinya.

Buku “Kehausan di Ladang Air” merupakan karya Zaki Yamani, seorang jurnalis harian umum terkemuka di Jawabarat, ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, peraih Mochtar Lubis Fellowship, peraih Developing Asia Journalism Awards (DAJA), penghargaan jurnalisme tingkat Asia-Pasifik dan peraih Anugerah Adiwarta Sampoerna.

Mungkin berlebihan menyebut deretan penghargaannya tetapi mungkin juga tidak. Karena pada peluncuran perdana bukunya, sang penulis justru berhalangan hadir. Zaki harus ke Garut untuk peliputan, mengutamakan tugas jurnalis dibanding seremoni buku.

Tetapi walau tidak dihadiri sang penulis buku, acara berlangsung meriah. Maklumlah buku ini didukung dan diterbitkan atas kerjasama Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Bandung Urbane Community, Walhi Jabar dan FK3I Jabar. Sehingga semua bekerja sama mempromosikan  dan menyebarkan buku ini sebanyak mungkin.

Langkah Zaki memang tepat, karena ini bukan buku biasa. Pembaca seolah diajak melihat fragmen-fragmen kehidupan kota Bandung khususnya di pemukiman padat penduduk. Tentang produktivitas penduduk yang menurun karena harus mengantri air atau begadang akibat menunggu air. Tentang pedagang air dan lingkarannya. Tentang premanisme, pemasangan instalasi illegal oleh oknum PDAM. Tentang ormas yang blak-blakan dicantumkan identitasnya oleh Zaki. Dan tentang betapa iklim politikpun mampu mempengaruhi kebijakan air minum.

Sehingga tidak berlebihan ketika pejabat Walhi mengatakan bahwa buku (termasuk penulisnya) menuai ancaman dan kecaman pihak “terkait”. Buku ini membongkar semuanya hingga terlihat terang benderang walau untuk beberapa hal tidak dibuka karena penulisnya berpegang teguh pada keakuratan data.
Ogie Hendarsyah, salah seorang pejabat Walhi tertawa ketika ditanya, mengapa pejabat PDAM tidak ada yang datang sebagai narasumber.
“Wah nanti diborong atuh oleh mereka”.
“Biarin, cetak aja lagi”, timpal penulis ikut tertawa sambil meneguk bandrek panas yang  manis dan pedas.
Konsumsi acara ini memang sangat khas. Minuman bandrek dengan parutan kelapanya, bajigur dengan irisan kolang kaling. Serta cemilan organis: kacang rebus, pisang rebus, ubi rebus dan singkong rebus. Enak dan mengenyangkan  ^-^

Walaupun narasumber dari PDAM tidak datang tetapi ada dari LSM K3A yang selama ini bergelut dengan masalah air, perwakilan Pusat Sumber Daya Air (PSDA) Jawabarat dan Pakar Hidrologi hutan dan DAS, Chay Asdak,  perwakilan YPBB Fictor Ferdinand , serta Dwi Sawung dari Walhi sebagai moderator.
Buku setebal 162 halaman ini mungkin menyebalkan untuk penguasa tetapi enak dibaca. Bahkan untuk kelas pelajar karena cukup “renyah”. Membongkar sindikasi tanpa membuat pembacanya harus mengernyitkan dahi.

Tanpa solusi karena memang tidak dimaksudkan untuk mengajari tapi untuk memotret realita lingkaran benang kusut perdagangan air dimana rakyat miskin menjadi korbannya. Potret yang tidak pernah dilihat dan dibaca penguasa sehingga mereka sering salah membuat kebijakkan.

Potret yang sama kemungkinan besar juga terjadi di seluruh kota besar di Indonesia. Masyarakat miskin kota- kota besar yang harus berjibaku mendapatkan air bersih akibat  pelanggaran konstitusi oleh pejabat berwenang sesuai UUD 1945 pasal 33:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Karenanya tidak berlebihan apabila hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Jawabarat Tahun 2009 dibawah ini kemungkinan besar juga terjadi di DKI Jakarta yang sedang hiruk pikuk memilih pemimpin baru.

30 juta meter kubik air yang diproduksi PDAM Kota Bandung - atau air sebanyak 181,81 kolam seluas lapangan sepak bola standard internasional, dengan kedalaman 20 meter - hilang setiap tahunnya.

Atau sang penulis mengajak pembaca untuk: “Bayangkan kolam air raksasa yang luasnya sama dengan lapangan sepak bola internasional yang paling luas, panjang 110 meter dan lebar 75 meter. Bayangkan kedalaman kolam itu 20 meter atau setara dengan gedung setinggi lima tingkat. Jika kita ukur, volume totalnya adalah 165.000 meter kubik. Kemudian bayangkan di  seluruh Kota Bandung 181 kolam air raksasa seperti itu, yang jika ditotalkan volumenya nyaris 30 juta meter kubik. Dengan wilayah yang terdiri atas 30 kecamatan, setiap kecamatan bisa mendapat jatah 6 kolam air raksasa itu. Atau, jika didistribusikan ke 151 kelurahan yang ada di Kota Bandung, setiap kelurahan bisa mendapat jatah satu hingga dua kolam air raksasa. Sungguh bukan main, kolam air minum raksasa gratis di setiap kelurahan!”

Sayang kolam raksasa itu tidak merata di setiap kecamatan, apalagi kelurahan. Karena seharusnya  disitulah peran pemerintah untuk  arif mendistribusikan air minum pada warga masyarakat. Bukan  justru sebaliknya, mengkomersialisasikan untuk kepentingan segelintir oknum.

Please deh, ………..  harga pangan mahal, harga sandang dan papan juga mahal, masak sih harga air juga mahal? ………

**Maria Hardayanto**

Sumber foto : disini, disini dan disini
1332515627424544649
tempat dan ketika acara berlangsung, Simpul Space2 (dok. Maria Hardayanto)
1332515718974022123
mmmm bandrek, bajigur dan singkong/pisang/ubi/kacang rebus

Comments

Popular posts from this blog

Kegenitan Kampus Undip

Sulit mencari ungkapan  tepat untuk mengungkapkan kampus baru Universitas Diponegoro di Tembalang, Semarang Provinsi Jawatengah. Memang ada jargon kampus yaitu kampus keanekaragaman hayati. Pohon-pohon dibiarkan tetap tumbuh demikian pula semak-semak bahkan ada 2 ekor sapi yang mencari rumput di area kampus. Sapi di area kampus? Begitu banyak kampus, baru sekarang penulis melihat sapi merumput dan memamah biak rumputnya dengan santai. Kebetulan hujan sedang turun, apabila tidak bisa dibayangkan ada banyak burung, kupu-kupu, belalang dan beragam serangga lainnya bersenda gurau diantara pepohonan yang asri tersebut. jalan masuk kampus Undip dan beragam bangunan fakultas di kanan kirinya Kampus baru Universitas Diponegoro ini begitu bersolek. Ada patung Diponegoro berkuda menyambut pengunjung. Ada dua gedung kembar di kanan dan kiri jalan menuju area kampus. Bak  pager bagus menyambut kedatangan siapapun yang ingin menikmati keindahan  kampus Undip. Dan tidak seperti kampus

Dampak Pemanasan Global Bagi Kesehatan

Perubahan iklim membawa pengaruh besar terhadap kesehatan manusia, kehidupan sosial, dan lingkungan tempat tinggal kita. Manusia terancam kekurangan air bersih, sumber-sumber makanan, dan tempat tinggal yang layak huni. Demikian kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di dalam rilisnya. Antara tahun 2030 - 2050, perubahan iklim diduga akan menyebabkan kenaikan angka kematian sebesar 220 ribu jiwa per tahun akibat malanutrisi, diare, dan udara panas. Pemanasan global Selama lebih dari 50 tahun, aktivitas manusia, terutama pembakaran fosil, seperti batu bara dan minyak bumi, telah melepas sejumlah besar karbon dioksida dan emisi gas lainnya. Gas-gas ini kemudian terperangkap di bawah lapisan atmosfer dan menyebabkan pemanasan global. Dalam 130 tahun terakhir, dunia telah menghangat sekitar 0,85 derajat C. Tiga dekade terakhir ini atau terhitung sejak 1850, bumi menjadi lebih panas dari sebelumnya. Akibatnya, lapisan es bumi mencair, permukaan laut naik, dan pola pr

Ooho, Kemasan Air Minum Yang Bisa Dimakan

Selain tidak efisien, air dalam kemasan menyisakan limbah plastik yang tidak ramah lingkungan. Hal ini meresahkan banyak pihak. Karenanya banyak orang mencari wadah alternatif untuk menampung air. Ooho , salah satu wadah yang lentur dan bisa mengikuti ruang tempatnya ditaruh, tetapi juga dapat dimakan! Ooho adalah temuan inovatif yang terbuat dari lapisan membran tipis yang dapat dimakan. Teknik pembuatannya dengan cara spherifikasi. Teknik gastronomi molekular, suatu cairan yang dijatuhkan ke dalam larutan alginat, yang kemudian membentuk gel pelindung di sekitar cairan tersebut. Ooho juga dibuat dengan brown algae dan kalsium klorida. Teknik ini sebenarnya sudah diperkenalkan pada tahun 1946 oleh Ferran Adria di Barcelona, Spanyol. Pada waktu itu, dari teknik ini ia membuat zaitun yang berbentuk bulat dan sampai sekarang dapat ditemukan pada banyak restoran dari berbagai negara. “Saat ini manusia selalu membuat botol plastik, 80% dari plastik tersebut ternyat