Skip to main content

Indonesia, Kekeringan di Sumber Air

13324747251506930699
mata air di Sekemirung, Bandung Jawabarat (dok. Maria Hardayanto)

Air bersih mengalir deras melalui 2 kran yang dibuka bersamaan mengisi 2 bak air super besar warisan jaman Belanda. Kapanpun, pagi ….siang…malam….dan siapapun bisa berhura-hura dengan air yang dialirkan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Sukabumi, Jawabarat.

Tapi itu kisah dahulu kala. Sewaktu penulis masih duduk di sekolah lanjutan di kota Sukabumi, Jawabarat. Karena lima belas tahun kemudian kisah sedih dimulai. Air dari PDAM tidak keluar setetespun di siang hari. Kran hanya mengeluarkan airnya di malam hari, memaksa setiap anggota keluarga harus bergiliran begadang untuk mengisi penuh tong-tong air cadangan. Tidak mau? Ya, ….  lupakan mandi, memasak apalagi mencuci baju.
Beberapa keluarga yang mampu membuat sumur dan memasang jet-pump. Selebihnya “nrimo” dengan keadaan dimana air mengalir suka-suka.

Kisah penduduk Sukabumi yang terkena imbas privatisasi air ternyata lebih beruntung dibanding  penduduk di pemukiman padat Bandung seperti daerah Jamika, Cicadas, Braga City Walk, jalan Rajawali dan Babakan Surabaya. Aliran air dari PDAM tidak hanya mengalir kecil selama 5 jam per hari tetapi juga bewarna kekuningan dan berbau. Untuk mengatasi kebutuhan air pada waktu memasak dan mencuci peralatan makan/ /minum mereka harus rela membeli air dalam gerobak. Satu gerobak berisi 15 jeriken atau 125 liter seharga Rp 4.000.

Mirisnya tragedy ini justru menimpa keluarga miskin di kota Bandung. Penghasilan mereka Rp 2.898.000 per tahun  atau  Rp 241.500 per bulan dan penduduk hampir miskin dengan penghasilan Rp 479.250,00 (data penerima bantuan langsung tunai (BLT) tahun 2005). Mereka harus menganggarkan pembelian air sekitar Rp 60.000 - Rp 150.000/bulan.

Lebih miris lagi karena air yang mereka beli ternyata berasal dari pengusaha air yang menggunakan jetpump untuk mengambil air dari PDAM. Selain mereka ada juga pengusaha air yang mengambil keuntungan dari sekitar 80 mata air (seke; bahasa Sunda) di Bandung.

Mata air? Bagaimana mungkin air yang berasal dari mata air diperjualbelikan? Karena sepengetahuan penulis, mata air yang berada di lahan seorang pemuka masyarakat daerah Sekemirung (gambar diatas) digunakan oleh siapapun yang memerlukan. Mereka dipersilakan menggunakan sepuas mungkin asal menjaga kelestariannya. Halmana sering dilalaikan oleh para pengguna air.

Bisnis air memang menggiurkan. Apalagi ketika bisnis depot air minum isi ulang mulai marak. Banyak lahan tempat mata air dijual pemiliknya. Penguasa baru mengambil air dan menjualnya ke pengusaha truk tangki air. Atau malah dia sendiri pemilik lahan sekaligus pemilik truk-truk tangki yang mengirim air ke pelanggan rumah tangga dan depot air minum isi ulang.

Ada ribuan depot air minum isi ulang di Bandung Jawabarat. Sayangnya tidak ada data resmi berapa banyak jumlah air yang diambil dari sejumlah mata air. Apabila dari 50 % sejumlah 80 mata air di Bandung dijadikan ladang uang dan setiap mata air mengisi sekitar  10 truk tangki  5.000 liter. Maka sekitar 400 truk tangki atau sebanyak 2.000.000 liter (2.000 meter kubik) per hari diperdagangkan.
Menghidupi pengusaha air dan  rantai perdagangannya sekaligus melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 yang mengamanatkan:
“Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif.”
Tetapi melalui UU Nomor 7 Tahun 2004 tersebut, pemerintah juga melegalkan  privatisasi air yang  bertujuan memperbaiki distribusi air bersih bagi rakyat. Peranan pemerintah hanya sekedar fasilitator yang menjual hak layanan air bersih ke perusahaan swasta. UU No 7 tahun 2004 juga menegaskan adanya desentralisasi kewenangan yang membuka kesempatan bagi perusahaan-perusahaan jasa air berhubungan langsung dengan pemerintah daerah tanpa persetujuan pemerintah pusat.

Sayangnya privatisasi air tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), 36 % penduduk Jakarta belum terlayani pipa Perusahaan Air Minum (PAM) sedangkan sisanya harus “ikhlas” dengan kualitas air yang kotor sementara tarifnya justru naik 10 kali lipat.
Privatisasi tidak hanya disektor kran (PDAM) tetapi juga merambah ke komoditas air mineral botol. Beberapa pemain raksasa dunia industry air duniapun ikut menikmati manisnya jualan air di Indonesia, yaitu: Suez, Thames dan Danone.

Akibatnya sungguh fatal, tidak hanya sawah-sawah yang kekeringan, penduduk di sekitar “mata air pegunungan” harus mengonsumsi air selokan yang kotor untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aliran air kotor yang harus diendapkan sebelum digunakan itupun tidak didapat cuma-cuma. Ada kecurigaan, kecemburuan sosial hingga  percekcokkan dengan golok terhunus.

Karenanya tidak berlebihan adagium yang menyatakan bahwa air di negeri Indonesia sudah lama bukan milik rakyat. Ada salah kelola, ada pembiaran dan yang terparah adalah ada mafia yang bermain. Mereka mengeruk keuntungan dari air. Adanya regulasi setengah hati memupuk kelihaian mereka ditambah pengawasan yang “seadanya” maka komplitlah derita rakyat kecil.
Anehnya apabila ada yang mempertanyakan kualitas dan kuantitas air minum, jawaban para pejabat hampir seragam: “Kondisi air kritis karena keterbatasan persediaan air baku, bertambahnya jumlah penduduk, tidak menentunya cuaca, penebangan pohon dan penutupan permukaan tanah sehingga air tidak meresap ke dalam tanah”.
Jawaban klise. Karena dengan curah hujan 2.500 mm per tahun harusnya tidak ada warga yang mengais air kotor. Tidak ada ketimpangan dimana warga kaya membayar air PAM murah dan menghambur-hamburkan air kemasan sedangkan warga miskin harus antri air atau membeli air dengan harga mahal.

Solusinya? Pakar hidrologi hutan dan DAS, Chay Asdak mengemukakan ide pajak progresif. Semakin kaya seseorang, semakin banyak air yang digunakan maka rupiah yang harus dia bayar lebih besar pula. Hal ini berkaitan juga dengan penggunaan hemat air, karena air yang dibeli murah cenderung dipergunakan dengan tidak bijaksana.

Sedangkan Anggota Dewan Pengawas PDAM Kota Bandung, M. Iqbal Abdul Karim menyarankan agar penerimaan khususnya laba PDAM jangan dihitung sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) tetapi dimasukkan pada pos investasi sehingga memperlancar kinerja PDAM dan memperluas jangkauan ketersediaan air bersih bagi masyarakat.

Supardiyono Sobirin, pakar DPKLTS, anggota Dewan Air mempunyai pendapat berbeda, dia mengajak masyarakat berperan dalam pengelolaan sumber daya air terpadu (Integrated Water Resources Management/IWRM). Karena IWRM lebih bisa diharapkan keberhasilannya mencapai ketahanan sumber daya air melalui beberapa pendekatan sesuai kultur masyarakat.
Solusi yang ditawarkan Sobirin memang perlu waktu bahkan menimbulkan sikap skeptis.  Tapi seperti yang dikemukakan Koordinator Advokasi KRuHA (Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air), Muhammad Reza bahwa permasalahan air bersih di Indonesia karena pemerintah salah dalam mengelola sumber daya air. Pendekatan pengelolaan air oleh pemerintah mengarah pada komersialisasi yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi.
Pasal 33 UUD 1945:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Jadi ketika pemerintah tidak tunduk pada konstitusi, menjadi sah-sah saja apabila masyarakat menuntut pemerintah mengembalikan pengelolaan air dari privat kepada pengelolaan public.
Pertanyaan selanjutnya adalah mampukah kita mengelola sumber daya air seperti saran Supardiyono Sobirin? Mengingat hubungan masyarakat perkotaan tidak lagi guyub (rukun), tapi bersifat transaksional.

**Maria Hardayanto**

sumber data :

Comments

Popular posts from this blog

Kegenitan Kampus Undip

Sulit mencari ungkapan  tepat untuk mengungkapkan kampus baru Universitas Diponegoro di Tembalang, Semarang Provinsi Jawatengah. Memang ada jargon kampus yaitu kampus keanekaragaman hayati. Pohon-pohon dibiarkan tetap tumbuh demikian pula semak-semak bahkan ada 2 ekor sapi yang mencari rumput di area kampus. Sapi di area kampus? Begitu banyak kampus, baru sekarang penulis melihat sapi merumput dan memamah biak rumputnya dengan santai. Kebetulan hujan sedang turun, apabila tidak bisa dibayangkan ada banyak burung, kupu-kupu, belalang dan beragam serangga lainnya bersenda gurau diantara pepohonan yang asri tersebut. jalan masuk kampus Undip dan beragam bangunan fakultas di kanan kirinya Kampus baru Universitas Diponegoro ini begitu bersolek. Ada patung Diponegoro berkuda menyambut pengunjung. Ada dua gedung kembar di kanan dan kiri jalan menuju area kampus. Bak  pager bagus menyambut kedatangan siapapun yang ingin menikmati keindahan  kampus Undip. Dan tidak seperti kampus

Dampak Pemanasan Global Bagi Kesehatan

Perubahan iklim membawa pengaruh besar terhadap kesehatan manusia, kehidupan sosial, dan lingkungan tempat tinggal kita. Manusia terancam kekurangan air bersih, sumber-sumber makanan, dan tempat tinggal yang layak huni. Demikian kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di dalam rilisnya. Antara tahun 2030 - 2050, perubahan iklim diduga akan menyebabkan kenaikan angka kematian sebesar 220 ribu jiwa per tahun akibat malanutrisi, diare, dan udara panas. Pemanasan global Selama lebih dari 50 tahun, aktivitas manusia, terutama pembakaran fosil, seperti batu bara dan minyak bumi, telah melepas sejumlah besar karbon dioksida dan emisi gas lainnya. Gas-gas ini kemudian terperangkap di bawah lapisan atmosfer dan menyebabkan pemanasan global. Dalam 130 tahun terakhir, dunia telah menghangat sekitar 0,85 derajat C. Tiga dekade terakhir ini atau terhitung sejak 1850, bumi menjadi lebih panas dari sebelumnya. Akibatnya, lapisan es bumi mencair, permukaan laut naik, dan pola pr

Bauran Energi 25-25, Strategi Indonesia Hadapi Krisis Energi

bauran energi 2025 Aksi protes pro demokrasi  di berbagai negara Arab menyusul mundurnya presiden Tunisia dan Mesir mengakibatkan harga minyak dunia melesat diatas US $104 per barel . Harga yang relative sulit turun mengingat situasi yang makin memanas. Iran berupaya mengirim kapal-kapal angkatan laut ke kawasan Mediterania dan Pemimpin Libya, Muammar Khadafi memerintahkan mengganggu ekspor minyak Libya dengan menghancurkan pipa ke Mediterania Tertanggal 23 Februari 2011, Libya menyatakan force majeur dan efektif membatalkan kontrak minyak. Padahal Libya merupakan pemilik cadangan minyak terbesar di Afrika sebesar 42 miliar barel dan menjadi produsen ke empat terbesar di Afrika dengan produksi 1,8 juta barel per hari. Sedangkan Bahrain, Yaman, Aljazair, Libya dan Iran - mewakili sepuluh persen dari produksi minyak mentah dunia,” Tanpa tragedy dan ketegangan yang meningkat di Timur Tengah dan Afrika Utara, para  pe