source : guardian.ng |
Berapa
lama manusia bisa bertahan tanpa minum?
Menurut
sumber, ternyata manusia hanya mampu bertahan 4-7 hari,
tergantung situasi. Beberapa faktor mempengaruhi, misalnya temperatur. Manusia yang terjebak dalam suhu dingin bisa
bertahan lebih lama karena jumlah air yang dikeluarkan lebih sedikit.
Sayangnya, kebutuhan akan air yang
begitu vital, berbanding terbalik dengan suplai air. Khususnya dari PDAM, pihak yang mendapat mandat menyediakan air
bersih pada warga masyarakat.
Saya
misalnya, sering harus begadang karena air dari PDAM baru mengalir pukul 22.00
hingga pukul 2.00 dini hari. Padahal saya sudah ngomel panjang pendek melalui
salah satu group facebook yang menfasilitasi keluhan warga Bandung. Feedback hanya sekedar menanyakan nomor
langganan, kemudian senyap. #Duh.
Situasi
ini membuat saya bertanya: “Bagaimana 10 tahun mendatang? Juga bagaimana kabar
air dari kota-kota lain?
Saya
mengetik “warga mengeluh air” dan muncullah:
Dan
seterusnya .......
Ketiga
berita di atas hanya menyangkut air bersih yang disuplai PDAM setempat.
Bagaimana dengan sumur? Bakal lebih heboh. Karena tidak hanya rentan kering,
air sumur juga mudah terkontaminasi sehingga berbau tak sedap dan berwarna
keruh. Penyebabnya bisa kecerobohan si pemilik sumur maupun pemilik bangunan di sekelilingnya. Malang
memang. Selain itu posisinya di mata hukum sangat lemah, tidak bisa bersuara selantang pelanggan PDAM.
Namun
ada kesamaan nasib, yaitu kelangkaan air.
Air sebagai sumber kehidupan yang dipahami pemerintah akan langka seiring
bertambahnya jumlah penduduk, perubahan iklim dan faktor-faktor lain. Serta
berefek jangka panjang, pada kesehatan dan tumbuh kembang manusia.
Di
tingkat global, diperkirakan terjadi 1,6 juta kematian per tahun akibat
penyakit yang terkait dengan kurangnya akses ke air minum yang aman, sanitasi tidak
memadai dan kebersihan yang buruk.
Sementara
di Indonesia, angka stunting pada balita sebesar 7,8 juta dari 23 juta balita
atau sekitar 35,6 persen, menunjukkan betapa mengerikan dampak sanitasi buruk
dan kurangnya akses air bersih. Kedua faktor tersebut menjadi penyebab stunting
selain gizi buruk.
Karena
itu, tak berlebihan pada “World Water
Day 2019, tanggal 22 Maret, mengambil
tema “Leaving no one behind” yang berkaitan dengan salah satu agenda
Sustainable Development Goals 2030, yaitu “Air Bersih dan Sanitasi Layak”
UN-
Water dalam press
releasenya menekankan:
Siapa pun Anda, di mana pun Anda
berada, air adalah hak asasi Anda. Akses ke air menopang kesehatan masyarakat
dan karenanya penting untuk pembangunan berkelanjutan dan dunia yang stabil dan
sejahtera. Kita tidak bisa bergerak maju sebagai masyarakat global sementara
banyak orang hidup tanpa air bersih
Tema
“Leaving no one behind” diambil karena
berbagai alasan, diantaranya disebabkan adanya diskriminasi terhadap golongan
masyarakat termarginalkan berikut ini:
·
Seks
dan gender
·
Ras,
etnis, agama, kelahiran, kasta, bahasa, dan kebangsaan
·
Kecacatan,
usia dan status kesehatan
·
Properti,
status kepemilikan, tempat tinggal, status ekonomi dan sosial
·
Faktor-faktor
lain, seperti degradasi lingkungan, perubahan iklim, pertumbuhan populasi,
konflik, perpindahan paksa dan migrasi juga menjadi penyebab munculnya kelompok-kelompok yang kesulitan mengakses
air bersih.
Mengetahui
betapa seriusnya dampak kelangkaan air bersih, adakah yang bisa kita lakukan? Ada,
bahkan banyak. Diantaranya sebagai berikut:
Hemat Air
\source : cnnindonesia.com |
Ini
memang nasihat tertua, namun sangat manjur. Menghemat air merupakan wujud
kepedulian terhadap mereka yang mengalami stres air sehingga mengalami akibat
jangka panjang.
Menabung Air
LRB seharusnya di saluran air (source:biopori.com) |
“
LRB memperkecil ruang alasan bagi masyarakat untuk tidak mengambil peran bagi
upaya pelestarian lingkungan, dengan cara meresapkan air bersih (air hujan)
sebanyak-banyaknya ke dalam tanah. LRB dapat diaplikasikan pada lahan sempit
dengan fleksibel sekalipun di lokasi yang secara ekstrem dibuat perkerasan 100
persen”.
Recycling
Air dengan Ecotech Garden
source: pusair |
Ditemukan oleh Ratna Hidayat,
praktisi lingkungan dari Pusair, Ecotech Garden (EGA) mengolah grey water
menjadi air yang bisa digunakan lagi. Grey water dialirkan ke kolam yang berisi tanaman hias yang berfungsi sebagai media penyerap unsur pencemar, seperti lili
air, pisang brazilia, dan lainnya.
Bagaimana cara kerjanya?
1.
Pengaliran
grey water ke EGA, dilakukan dengan cara memasang bendung di selokan, sehingga
air dapat dibelokkan ke EGA.
2. Sistem EGA tersebut dapat dibangun
di halaman rumah, atau taman taman yang ada di kompleks perumahan atau di
bagian atas suatu situ atau danau alami.
3. EGA akan menyaring unsur unsur
hara (pupuk) yang terkandung didalam air, dan unsur bahan pencemar air lainnya.
Unsur pupuk digunakan oleh tanaman untuk bertumbuh, sedangkan unsur pencemar,
disaring oleh akar dan media penahan tanaman.
4. Air yang keluar dari EGA (sudah
disaring secara biologis), dapat dialirkan kembali ke selokan dibagian hilir
bendung, atau dialirkan ke waduk, dan sumber sumber air lainnya.
5. Karena bahan cemaran dalam air
sudah berkurang, maka kualitas air yang dikembalikan ke selokan atau ke badan
badan air lainnya, sudah lebih baik dari kualitas air sebelum melalui EGA.
Dua penemuan di atas hanya
sebagian kecil hasil karya anak bangsa dalam usaha memaksimalkan sumber daya
air. Bagaimana implementasinya? Sangat tergantung kemauan dan aksi kita sebagai
warga yang mengalami kelangkaan air. Apakah akan diam saja, atau turut serta
melestarikan sumber air bersih. Remote controlnya kita yang pegang.
Comments
Post a Comment