Pernahkah merasa tercekik ketika berada dalam suatu ruangan yang penuh sesak? Mungkin di angkutan umum yang tentunya tanpa air conditioner. Atau mungkin disuatu ruangan kantor/kelas sempit
bersama cukup banyak orang dimana sirkulasi udara hanya mengandalkan
pintu dan jendela yang terbuka. Pastinya udara menjadi terasa panas dan
kita merasa tercekik seolah sulit bernafas.
Ini mirip percobaan berikut: Nyalakan sebuah lilin. Setelah lilin menyala, tutuplah lilin tersebut dengan sebuah gelas. Perhatikan apa yang terjadi. Lilin itu perlahan redup dan kemudian mati. Mengapa demikian ? Lilin
bisa menyala melalui proses pembakaran (oksidasi). Bila lilin kita
tutup dengan gelas, maka tidak ada oksigen yang bisa masuk. Lilin hanya
mengandalkan oksigen yang ada di dalam gelas untuk tetap menyala.
Karena
oksigen diambil terus maka pada akhirnya oksigen di dalam gelas akan
habis, semua oksigen berubah menjadi karbondioksida. Lilinpun mati
karena kehabisan oksigen. Reaksi
oksidasi yang membakar lilin pada dasarnya sama dengan yang terjadi
pada tubuh kita. Tubuh membakar bahan-bahan yang kita makan dengan
proses oksidasi. Seorang
manusia dewasa, dalam keadaan istirahat menghabiskan 1.8 - 2.4 gram
oksigen permenit . Artinya, sekitar 6 milyar ton oksigen dibutuhkan
manusia per tahun.
Darimana
kita memperoleh oksigen? Tentu saja dari pohon. Melalui proses
fotosintesis berbagai jenis tumbuhan menghasilkan oksigen sehingga kadar
oksigen di planet bumi selama jutaan tahun tetap tinggi yaitu 21 %.
Bandingkan dengan kadar oksigen di planet Mars 0,1 % sedangkan Venus
lebih rendah lagi. James
Lovelock, seorang pemikir dari inggris, dalam pernyataan yang disebut
dengan Teori Gaia menyatakan bahwa sistem kehidupanlah yang membuat
adanya banyak oksigen di atmosfer dan menjaga kestabilan jumlahnya.
Sehingga jika di suatu daerah terdapat pohon maka ada harapan kehidupan
di daerah tersebut akan berkelanjutan.
Tapi
bagaimana dengan nasib para tumbuhan? Apakah mereka bisa terus hidup
dalam waktu yang tidak terhingga? Jika menyimak proses fotosintesis maka
akan diketemukan fakta bahwa tumbuhan memerlukan karbondioksida dan
kitalah, manusia, penghasil karbondioksida tersebut. Tubuh kita mengambil oksigen dari lingkungan sekitar dan mengeluarkan karbondioksida.
Suatu
siklus alami, selama jutaan tahun kita dan pohon bertukar oksigen dan
karbondioksida tak habis-habisnya sehingga kadar oksigen di udara bisa
bertahan 21 %. Tidak hanya itu, ketika membakar makanan tubuh manusia
menghasilkan karbondioksida dan air. air tesebut dibutuhkan tanaman
dalam fotosintesis. Tentu saja untuk proses fotosintesis selain
karbondioksida dan air, tumbuhan memerlukan sinar matahari.
Sinar
matahari bersinar sepanjang waktu di bumi Nusantara, menjamin kebutuhan
hidup tumbuhan yang otomatis menunjang keberlanjutan hidup mahluk
hidup, khususnya manusia. Semua
kebutuhan hidup manusia ditopang alam, tidak ada satupun kebutuhan
hidup yang benar-benar merupakan barang buatan manusia.
Tetapi
mengapa kita justru merusaknya? Kawasan hutan beralih fungsi, ruang
terbuka hijau di perkotaan tidak mencapai 30 persen sesuai regulasi,
kawasan perumahan menutup habis pekarangannya atau mencekik pertumbuhan
tanaman di area tersebut.
Jawabnya adalah karena : ALAM YANG TERLALU DAPAT DIANDALKAN.
Seperti layaknya orang tua yang tidak alpa memberi uang
jajan pada anaknya, kita selalu mengandalkan bahwa air, udara yang
bersih, tanah subur dan tumbuhan akan selalu ada. Sedemikian terbiasa
hingga kita tidak pernah berpikir bahwa semua itu bisa hilang. Bahkan
pengetahuan mengenai bagaimana air, udara dan berbagai bentuk kebutuhan
hidup disediakan oleh alam hilang dari kesadaran kita. Atau setidaknya,
hal itu tidak lagi dianggap penting. Akibatnya di jaman modern ini manusia semakin
banyak merusak alam. Ini merupakan bukti bahwa manusia semakin tidak
menyadari, bahwa kebutuhan hidup manusia berasal dari alam.
Ketika
terjadi krisis air bersih di perkotaan, orang dengan mudah menyalahkan
kinerja PDAM. Lupa bahwa air bersih semakin langka karena berkurangnya
hutan yang bisa menyerap air. Begitu juga ketika terjadi kelangkaan
beras, yang mengakibatkan naiknya harga beras. Pemerintah disalahkan
karena tidak mampu menjamin ketersediaan beras. Kita lupa bahwa ketika
hutan digunduli maka berpuluh-puluh sumber mata air hilang mengakibatkan
tanah pertanian beralih fungsi, kesuburan tanah pertanian semakin
menurun, dan kondisi iklim yang kian tidak menentu.
Demikian
pula ketika sungai Citarum meluap mengakibatkan banjir dan menggenangi
perumahan disekitarnya. Penyebab utama adalah penggundulan hutan di
daerah hulu dan tidak adanya upaya penghijauan di kawasan daerah aliran
sungai (DAS). Setelah terjadi bencana barulah kita menyadari bahwa sebanyak
apapun uang yang dihasilkan dengan mengorbankan hutan, uang tersebut
tidak bisa digunakan untuk mencegah banjir dan korban jiwa. Uang yang didapat tidaklah sepadan dengan pengorbanan yang terjadi.
Menyimak
fenomena kerusakan alam yang demikian dahsyat, tentunya kita tidak
boleh berdiam diri. Alih-alih menyalahkan pihak tertentu lebih baik urun aksi dalam menghijaukan lingkungan.
Walaupun pekarangan rumah sudah disemen atau tertutup ubin bukan berarti tidak
bisa merasakan sensasi menanam pohon dan memahami keterkaitan kita
dengan alam. Yang termudah adalah menanam biji dari buah-buahan yang
telah habis kita konsumsi. Bisa dalam pot, bekas kemasan minyak goreng
@2 liter atau dalam polybag. Kegiatan ini juga mengedukasi anak-anak
sehingga mereka mempelajari langsung bagaimana bakal tumbuhan keluar
dari biji, muncul daun pertama, daun kedua dan seterusnya hingga
mencapai tinggi sekitar 50 – 100 cm. Jika pohon sudah mencapai
ketinggian tersebut, bisa dititipkan pada komunitas lingkungan hidup
seperti Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) terdekat untuk ditanam di area
reboisasi atau bahkan bisa ikut kegiatan menanam langsung.
anak anak belajar menanam sejak dini |
Partisipasi
menanam pohon bisa dilakukan oleh siapapun dalam bentuk apapun dan
dalam situasi bagaimanapun. Karena sesuai esensi kebutuhan manusia
terhadap oksigen maka seharusnya tidak ada kata ‘nanti’, ‘tidak tahu’ , ‘tidak
bisa’ apalagi ‘tidak mau’. Harus dilakukan karena kita membutuhkannya.
Serta tidak usah menunggu siapapun, toh anak kecil saja bisa
melakukannya. Tidak percaya? Dibawah ini foto anak-anak komunitas padat penduduk yang sudah belajar menanam semenjak kecil:
Menarik bukan? Jadi, yuk kita mulai menabung pohon untuk menuai oksigen di kemudian hari.
Sumber data: Kompas Keberlanjutan (YPBB Bandung)
Comments
Post a Comment