(PETUGAS Balai Benih Ikan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon menunjukan benih beberapa jenis ikan yang mereka pijahkan, Kamis (25/9/2014). Masih maraknya industri batu alam yang membuang limbah ke sungai membuat BBI kesulitan memenuhi kebutuhan air yang layak untuk kolam pemijahan, sehingga produktifitas benih menurun sampai 80 persen.)
SUMBER, (PRLM).-Tingginya perkembangan industri batu alam di yang masih membuang limbah ke sungai membuat Balai Benih Ikan (BBI) di Desa Dukupuntang, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon kesulitan memenuhi kebutuhan air yang layak untuk pemijahan ikan. Akibatnya, produktifitas ikan yang dipijahkan dari tahun ke tahun terus menurun hingga delapan puluh persen.
Petugas Pemijah di BBI Dukupuntang, Nasir mengatakan, sejak tujuh tahun lalu industri batu alam di sekitar BBI tumbuh sangat pesat. Sayang pertumbuhan itu tidak disertai kesadaran para pengusaha untuk mengolah limbah mereka dengan baik sebelum membuangnya ke sungai.
"Sejak itu air sungai yang biasa kami gunakan untuk kolam pemijahan ikan terus tercemar dan membuat benih mati," katanya saat ditemui Kamis (25/9/2014).
Kondisi tersebut, kata Nasir, sempat diakali oleh BBI dengan mengambil air dari mata air Bale Gedod di Desa Mandala. Namun air yang dialirkan melalui pipa itu debitnya masih belum mencukupi seluruh kebutuhan untuk kolam pemijahan. Akibatnya, lebih dari 50 persen kebutuhan tersebut masih harus dipenuhi dari air sungai yang tercemar limbah batu alam.
Menurut Nasir, produktifitas benih ikan yang dipijahkan tak bisa lagi sebesar saat industri batu alam di sekitar BBI masih bisa dihitung dengan jari. Dulu BBI Dukupuntang bisa menghasilkan sampai 50.000 ekor dari setiap jenis ikan yang dipijahkan, seperti ikan Nila, Bawal, Lele, Gurame, Mas dan Patin. Namun sejak air sungai banyak tercemar hanya 10.000 ekor dari setiap jenis ikan yang dipijahkan bisa bertahan hidup.
Kondisi tersebut diakui Nasir membuat permintaan benih dari para pembudidaya ikan di wilayah Cirebon dan sekitarnya tak dapat terpenuhi dengan optimal.
Banyak pembudidaya asal Indramayu, Kuningan dan Majalengka, kini terpaksa memenuhi kebutuhan benih mereka dari wilayah lain seperti Sukabumi dan Subang. "Padahal dulu kebutuhan benih mereka bisa kami penuhi dari sini," ujarnya.
Selain itu, BBI juga kini lebih fokus ke pemijahan benih Bawal dan Patin, sedangkan jenis ikan lain terpaksa dikurangi. Soalnya di Kabupaten Cirebon sendiri para pembudidaya memang lebih menyukai kedua jenis ikan tersebut. Selain harga jualnya memang tinggi, kedua jenis ikan itu pemeliharaannya tak terlalu sulit atau membutuhkan banyak perlakuan khusus.
Nasir menambahkan, benih Bawal dan Patin dijual BBI kepada para pembudidaya seharga Rp 12.000 per kilogram, Sementara jkan Mas Rp 20.000, Lele Rp 14.000 dan Gurame Rp 30.000. "Itu harga di kolam, untuk biaya transportasi tergantung pada pembeli apakah mau mengangkut sendiri atau kami antarkan," katanya.
Sementara itu salah seorang pembudidaya ikan Gurame di Desa Cangkoak, Kecamatan Dukupuntang, Sumpena (45) mengatakan, dirinya sempat mendandalkan BBI sebagai pemasok benih yang ia butuhkan. Namun sejak hasil pemijahannya menurun, ia terpaksa membeli benih langsung dari Sukabumi.
Hal itu jelas membuat biaya produksi yang harus dikeluarkan Sumpena meningkat. Soalnya harga benih dari Sukabumi ditambah ongkos sampai ke Cirebon berkisar antara Rp 40.000-45.000 per kilogramnya.
"Saya sih berharap BBI di sini bisa kembali memenuhi kebutuhan benih kami seperti dulu. Namun pencemaran yang terjadi akibat pertumbuhan industri batu alam memang masih sulit ditangani," katanya.
Sumpena sendiri mengaku ikan yang ia pelihara tak jarang banyak yang mati ketika tingkat pencemaran air sungai di musim kemarau sangat tinggi. Beruntung di musim hujan, limbah di air sungai tersebut bisa tertutupi debit air yang tinggi.
Seperti diberitakan sebelumnya, limbah batu alam di Kecamatan Dukupuntang beberapa tahun terakhir memang memunculkan permasalahan lingkungan cukup serius.
Dengan jumlah sekitar 200 pabrik pengolahan yang ada saat ini, setiap bulannya dihasilkan endapan sekitar 200.000 meter kubik yang dibuang langsung dan mengendap di sungai yang menjadi sumber pengairan bagi areal pertanian, perikanan di sekitarnya.
Sejak awal 2014, pemerintah beserta unsur Muspika lain memang telah berhasil mendorong para pelaku industri batu alam untuk membuat instalasi pengolahan limbah. Namun sampai awal Mei, baru sepuluh persen industri yang telah menerapkan instalasi pengolahan limbah tersebut.
Sementara sisanya masih terus didorong untuk mengolah limbah sebelum dibuang ke sungai agar tidak menimbulkan cemaran dan endapan yang tersisa di alam. (Handri Handriansyah/A-89)***
http://www.pikiran-rakyat.com/node/298408?utm_medium=twitter&utm_source=twitterfeed
Comments
Post a Comment