“Der Gebrauch von Pflanzenöl als Krafstoff mag heute Unbedeutend sein. Aber derartige Produkte können im Laufe der Zeit Ebenso bensowichtig werden wie Petroleum und diese Kohle-Teer-Produkte von heute.”
(Pemakaian minyak nabati sebagai bahan bakar untuk saat ini sepertinya
tidak berarti, tetapi pada saatnya nanti akan menjadi penting,
sebagaimana minyak bumi dan produk tir-batubara saat sekarang) –Rudolf
Diesel (1858-1913)-
Menurut sejarah perkembangan otomotif, mobil pertama yang diperkenalkan Henry Ford berbahan
bakar ethanol, sedangkan jauh sebelumnya Rudolf Diesel telah
mengenalkan minyak kacang sebagai bahan bakar untuk mesin ciptaannya.
Booming bahan bakar minyak yang berasal dari energi fosil menggantikan
peran bahan bakar nabati tersebut. Tetapi sumber
energi fosil kini semakin langka yang berdampak pada harga yang
berfluktuatif dan berimbas pada perekonomian dunia. Bahkan di tahun 2013
ini pemerintah Indonesia kesulitan menentukan
kebijakan bahan bakar bersubsidi, sehingga sudah seharusnya mulai
mempertimbangkan menanam tumbuhan penghasil bahan bakar nabati sebagai
salah satu alternatif energi terbarukan.
Ada
banyak pilihan, yaitu mabai (Pongamia pinnata), nyamplung (Calaphyllum
inophullum), nimbi (Azadirachta indica), jarak pagar (Jatropha curcas)
dan kemiri sunan (Reutealis trisperma).
Kemiri
sunan layak dipertimbangkan karena merupakan varietas lokal yang sudah
terdaftar di Kementerian Pertanian atas nama Gubernur Jawa Barat pada
tahun 2009. Sayang keberadaannya belum dikenal masyarakat luas walau
tanaman tersebut dengan mudah dapat ditemui. Berpucuk daun putih
kekuningan, pohon kemiri sunan tampil menyolok dengan indahnya terutama
di musim kemarau.
Ada beberapa manfaat yang didapat jika kita menanam kemiri sunan:
- Kemiri sunan mampu menyerap 28 ton CO2 setiap pohonnya dalam kurun watu satu tahun , hal ini bisa mengurangi dampak pemanasan global.
- Karena pohonnya memiliki akar tunggang maka dapat digunakan untuk penahan longsor atau erosi. Khususnya di perkebunan nonaktif, reklamasi lahan bekas tambang, sepanjang jalan provinsi dan sempadan sungai.
- Setelah berumur 3-4 tahun, setiap pohon kemiri sunan menghasilkan sekitar 200 kg buah dalam kurun satu tahun. Hasil minyak nabati non pangan (kasar) diperkirakan mencapai 10 ton/hektar. Hasil ini jauh lebih tinggi dari kelapa sawit yakni sekitar 6 ton/ha/tahun minyak kasar dan tentu saja jauh lebih tinggi jika dibanding dengan jarak pagar.
- Cangkang buahnya berpotensi sebagai biogas.
Berbeda
dengan kemiri biasa, biji kemiri sunan tidak terlalu keras dan tebal.
Setiap buah kemiri sunan memiliki 3 biji yang mudah dikelupas untuk
mendapatkan inti biji. Ketua Umum Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia
(Ikabi) Tatang H Soerawijaya mengatakan:” Perbandingan antara kulit biji
dan inti biji adalah 35 % - 45 % berbanding 55 % - 65 %. Inti biji
kemiri sunan inilah yang mengandung minyak nabati mentah sekitar 55 %.
Potensi
kemiri sunan bukan tanpa kendala, angka kandungan yodiumnya jauh
melampaui persyaratan yaitu: 80-115 g/100 g. Sedangkan angka kandungan
yodium kemiri sunan 133-160 g/100 g. Ada beberapa cara untuk
menurunkannya:
- Dapat dilakukan oleh industry minyak nabati melalui reaksi langsung dengan gas hydrogen.
- Dengan reaksi zat/reagen donor hydrogen yang dapat dilakukan dalam skala UKM (sedang diteliti dan dikembangkan ITB).
- Hidrogenasi secara elektrokimia, juga dapat dilakukan skala UKM (sedang diteliti dan dikembangkan ITB).
Jika pemerintah Indonesia serius dan konsisten terhadap target energy terbarukan yang dicanangkannya maka penanaman intensif
kemiri sunan dapat menyelesaikan beberapa masalah sekaligus, yaitu
gerakan rehabilitasi lahan kritis, bioenergi dan tabungan
oksigen/menyerap CO2 .
Kepala Dinas ESDM Provinsi Jabar memiliki data kelompok lahan yang memiliki potensi penanaman kemiri sunan di provinsi Jabar:
- 591.000 hektar lahan kritis
- 268.000 hektar reklamasi bekas tambang.
- 810.000 hektar CSR dari pengembang panas bumi.
- 224.000 hektar HGU perkebunan non aktif.
- 16.000 km sempadan sungai utama di Jabar.
- 2.000 km jalan sepanjang provinsi Jabar.
Data
diatas hanya menunjukkan potensi lahan di Jawa Barat, jika dijumlahkan
dengan 32 provinsi lainnya maka hasilnya pastilah menakjubkan.
Paradigmanyalah
yang harus diubah. Alih-alih memandang pembangunan sumber energi
terbarukan sebagai komoditas akan lebih bijak memandangnya sebagai
infrastruktur dan modal dasar. Setiap penjualan sumber energy harus
memperhitungkan kepentingan jangka panjang dan berpihak kepada
masyarakatnya sendiri. Dalam kerangka fikir ini pula, manfaat yang
didapat bukan menitik beratkan pada berapa besar laba atau devisa yang
dihasilkan tapi pada seberapa besar energy bisa mendukung berbagai
aktivitas untuk menumbuhkan ekonomi berbasis industry bernilai tambah
tinggi.
Indonesia
bisa berkiblat pada negara-negara Skandinavia. Mereka menggunakan
kekayaan alam sebagai modal untuk membangun masyarakatnya melalui
pendidikan, kesehatan serta iklim bisnis yang kondusif. Mereka sadar,
untuk menjamin masa depan maka
perekonomian harus ditunjang oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang ditunjang kualitas manusianya, bukan mengandalkan sumber
daya alam yang kelak akan habis.
Indonesia
memang berbeda dengan negara-negara Skandinavia. Bahkan Indonesia
memiliki kekayaan alam yang tidak dimiliki negara lain: keanekaragaman
hayati, tanah yang subur, air yang mengalir serta sinar matahari yang
bersinar sepanjang tahun. Sehingga sudah tidak sepantasnya Indonesia
hanya berperan sebagai eksportir bahan mentah. Indonesia bisa menjadi
Timur Tengahnya bahan bakar nabati atau pusat produksi dunia dalam
bioenergi. Jadi, yuk mulai menanam pohon penghasil energi.
**Maria Hardayanto**
Sumber data:
majalahenergi.com-Edisi Juni 2011
Pikiran Rakyat, 17 Juli 2012
catatan : Tulisan ini menjadi pemenang kedua Lomba "Nabung Pohon, Yuk" CIMB Niaga,
http://blog.kompasiana.com/2013/06/18/inilah-pemenang-nabung-pohon-yuk-cimb-niaga-566151.html
Comments
Post a Comment