“Percayalah, manusia bisa hidup tanpa uang. Tapi tidak mungkin bisa hidup tanpa oksigen.”
Jika
anda adalah penduduk kota Jakarta, tentu tidak heran mendengar bahwa
telur ayam yang dikonsumsi merupakan hasil perternakan di pulau
Sumatera. Karena sulit sekali kota urban seperti Jakarta memenuhi semua
kebutuhannya. Tapi bagaimana dengan penduduk Jawa Barat ? Jawabarat yang
memiliki luas 35.222.18 km2 dengan populasi kurang lebih 43 juta jiwa, ternyata juga mendapat pasokan telur dari pulau Sumatera.
Tidak
hanya penduduk dalam negeri yang mendapat pasokan pangan dari pulau
Sumatera. Singapurapun menerima manfaatnya. Fakta tersebut penulis
ketahui ketika berdialog dengan seorang rekan pengajar dari Nanyang
University, Singapura. Negara yang memiliki lahan pas-pasan tersebut
dengan cerdik ‘menggunakan’ kesuburan tanah Indonesia dan negara tetangga lainnya agar ketahanan pangannya terjamin.
Anehnya
harga-harga pangan mereka tidak pernah berfluktuasi tak terkendali
seperti di Indonesia. Tidak ada kisah harga cabai yang melonjak melebihi
harga daging sapi per kilogramnya. Apalagi harga jengkol yang hampir
mencapai $ 6 per kilogramnya, wuaduh …… please deh … :D
Harga
pangan yang stabil mencerminkan kemampuan pemerintahnya mengontrol
perdagangan dalam negeri dengan tujuan kesejahteraan rakyatnya. Untuk
semua usaha tersebut, apakah kita harus protes? Tentu saja tidak. Antar
pengusaha dan petani sudah deal ditambah ‘restu’ pejabat daerah terkait. Selesailah urusan.
Lain
halnya jika pengusaha bertindak merugikan, misalnya menelantarkan lahan
dan atau membakarnya, maka mereka harus ditindak. Tidak peduli
pengusaha asing atau pribumi.
Kebakaran hutan di Riau jelas telah melanggar UU nomor 32 tahun 2009
tentang lingkungan yang belum dibuat turunannya (peraturan daerah) oleh
pejabat setempat. Padahal kebakaran hutan terjadi setiap tahun.
Disengaja atau tidak. Regulasi sudah seharusnya dibuat dan dilaksanakan.
UU nomor 32 tahun 2009 tentang lingkungan juga mengamanahkan untuk mengangkat pejabat dan membentuk komite yang
beranggotakan lembaga kepolisian serta badan lingkungan hidup. Ya,
semacam KPK untuk pemberantasan korupsi dan BNN untuk pemberantasan
narkoba. Komite tersebut mempunyai kewajiban menindak tegas setiap
penyelewengan yang berpotensi merusak lingkungan, melaporkannya dan jika
perlu merekomendasikan pencabutan SIUP agar pengusaha jera dan mematuhi aturan yang berlaku.
Sayangnya,
lagi-lagi peranan lingkungan bagi kehidupan diremehkan, khususnya
kerusakan hutan dan lahan gambut. Padahal alam membutuhkan waktu puluhan
tahun bahkan ratusan tahun untuk tumbuh dan membentuk kekayaan hayati yang mampu memasok oksigen bagi jutaan jiwa penduduk Indonesia dan warga negara tetangga.
Jelaslah
permasalahan yang paling mendasar bukanlah kabut asap, bukan pula kata
maaf pak SBY apalagi kompensasi oksigen 11 bulan sesuai pernyataan pak
JK. Tetapi lemahnya penegakan hukum bagi esensi kehidupan.
Analogi
yang sederhana: Jika seorang ibu kos mendapati bangunan kosnya terbakar
apakah dia akan segera meminta maaf pada tetangga yang merasa
terganggu? Atau sebaliknya malah ngomel karena toh tetangga
sudah mendapat keuntungan selama ada bisnis kos, diantaranya mungkin
membantu tumbuhnya warung mi instan dan bisnis laundry?
Tentu tidak bukan? Dia akan segera memadamkan api dan jika diperlukan menghubungi pemadam kebakaran. Langkah selanjutnya, si ibu kos akan menjewer biang kerok pelaku kebakaran karena marah harta bendanya musnah. Tak peduli penyebab kebakaran adalah anak sendiri, anak kost, atau bahkan tamu yang sedang berkunjung.
Tentu
saja, ada perbedaan besar antara aturan bernegara dan bertetangga antar
rumah tangga. Tetapi kerugian yang terjadi justru lebih besar. Kita
semua tahu tapi meremehkan bahwa: Oksigen tidak bisa dibeli dengan Uang. Bahkan jika negara pemberi hutang pada pemerintah Republik Indonesia berjanji untuk memutihkan, asalkan ribuan
triliun rupiah tersebut dikalkulasi untuk pembayaran oksigen yang
hilang. Hal tersebut tidak bisa dilakukan. Uang tidak bisa membeli
proses keajaiban fotosintesis.
Kesalahan
telah terjadi. Hutan telah terbakar. Pasokan oksigen terbuang sia-sia.
Oksigen yang sangat dibutuhkan oleh kita, generasi penerus dan juga
warga negara tetangga. Itulah sebenarnya substansi masalah asap
sebenarnya, bukan pernyataan maaf pak SBY yang berulang-ulang. Karena
jangan-jangan si tetangga malah bertambah ngomel:
“Maaf
sih maaf, tapi cepetan dong padamkan apinya. Agar kami tidak harus
menghirup udara penuh asap lagi. Dan……….., jangan bikin kesalahan sama
ya? Tiap tahun kok ngirim asap, nggak kapok bikin masalah?!”
Nah lho. Kompleks bukan? Sekompleks dampak yang terjadi akibat kebakaran hutan yaitu ekosistem yang hilang, daya mencengkram tanah oleh akar-akar tumbuhan untuk menyimpan air yang turut hilang dan pastinya berujung pada ancaman banjir serta tanah longsor.
Sebetulnya bisakah kebakaran hutan dideteksi dan si pelaku dijewer sejak
dini sebelum akibatnya meresahkan hubungan bertetangga antar negara?
Harusnya bisa. Pemerintah Korea Selatan bisa mendeteksi setiap pohon
yang ditebang dari kawasannya sehingga bisa menghindari penebangan pohon
illegal. Warga Singapura bisa ikut memantau kualitas udara yang
dihirupnya. Jadi? Hmmmm……, seharusnya dengan kemajuan teknologi, tidak
ada lagi alasan yang tak masuk akal apalagi menjerat petani pembuka
lahan sebagai tersangka utama kebakaran hutan di Riau. Kalaupun mereka
pelakunya, tunjukkan buktinya. Kerena ini era teknologi tinggi bukan
jaman batu ketika untuk mendapatkan api, kita harus menggosok dua bilah
batu.
Selain
ribut-ribut masalah asap dan permintaan maaf pak SBY, menarik dicermati
apakah pemerintah baru bertindak sesudah tetangga ngomel? Mau
tak mau pemerintah harus melihat kekasus lain yang terjadi yaitu kasus
Lumpur Lapindo yang hingga bertahun-tahun belum juga tuntas
penyelesaiannya. Jika
berandai-andai: “Ada negara tetangga yang kebetulan bersebelahan dengan
Sidoarjo dan terkena dampak bencana lumpur Lapindo, apa yang akan
dilakukan SBY?
**Maria Soemitro**
sumber foto : menlh.go.id
http://green.kompasiana.com/polusi/2013/07/01/antara-pernyataan-maaf-dan-bencana-ekologi-569912.html
Comments
Post a Comment