Bukan sulap bukan sihir, setiap
tahun 1/3 jumlah pangan yang diproduksi di dunia (sekitar 1,3 milyar
ton) terbuang dan menjadi limbah. Sungguh miris bukan? Data Kementerian Lingkungan Hidup lainnya menyebutkan:
“Negara-negara
industri menyumbang limbah makanan sebesar 670 juta ton setiap
tahunnya, yang jika dikonversikan ke dalam nilai uang setara dengan 680
miliar Dolar AS. Adapun negara-negara berkembang menyumbang limbah
makanan sekitar 630 juta ton setiap tahunnya, atau setara dengan 310
miliar Dolar AS.”
Sungguh sangat timpang akibat gaya hidup,
negara-negara kaya membuang-buang makanan sementara 1 dari 7 orang di
dunia harus rela tidur dalam keadaan lapar dan lebih dari 20.000 anak di
bawah usia 5 tahun meninggal setiap hari karena kelaparan. Padahal kemampuan planet bumi sangatlah terbatas dalam menyediakan makanan bagi 7 milyar penduduknya.
Karena itu, peringatan Hari Lingkungan Sedunia 5 Juni 2013 mengangkat tema “Ubah
Perilaku dan Pola Konsumsi untuk Selamatkan Lingkungan” yang
divisualkan dengan logo daun hijau sebagai simbolisasi dari tujuan
kelestarian alam, serta simbolisasi kontra-produktif berupa visual
makanan yang ditumpahkan dari piring ke dalam bak sampah.
Perilaku
membuang limbah makanan sering terjadi bukan karena kesengajaan.
Misalnya disuatu pesta, kita mengambil makanan satu piring penuh lauk
pauk hanya karena nampak enak tanpa mempertimbangkan kemampuan perut .
Setelah disantap, makanan tersebut tidak dihabiskan karena perut
kekenyangan atau ternyata lauk pauk tersebut tidak sesuai selera.
Atau
pada kasus lain, pada saat perut sedang kosong kita membeli makanan
matang untuk dibawa pulang. Sesampainya di rumah ternyata jumlah makanan
ternyata terlalu banyak untuk kapasitas sekeluarga dan berakhir di
tempat sampah.
Atau
mumpung sedang jalan-jalan ke Lembang, misalnya. Seorang ibu berbelanja
banyak sayur dan tahu Lembang. Harganya mungkin murah dan rasanya pasti
enak karena langsung membeli dari sumbernya, tetapi karena terlalu
banyak akhirnya bahan baku masakan tersebut menjadi penghuni tempat
sampah.
Padahal
jumlah sisa makanan yang dijadikan kompos hanya sekitar 2,2 persen,
sisanya kita buang dalam kantung plastik (kresek). Berakhir di tempat
pembuangan sampah akhir (TPA) dan menimbulkan gas methan yang salah
satunya pernah menyebabkan longsornya TPA Leuwigajah dan menyebabkan
ratusan nyawa melayang pada tanggal 21 Februari 2005.
Tidak
hanya itu, dalam setiap makanan terkandung jejak ekologis yang cukup
panjang. Misalnya sepotong hamburger menghabiskan air tawar, unsur hara
tanah dan sumber daya lainnya karena untuk memenuhi kebutuhan pangan
maka:
- 25% lahan tanah di bumi dipergunakan dalam produksi pangan
- Produksi pangan mengonsumsi hingga 70% dari total air tawar di bumi air
- Alih fungsi hutan menjadi areal pertanian merupakan penyumbang 80% kerusakan hutan.
Produksi
pangan juga menjadi penyumbang 30% dari total emisi gas rumah kaca
sebagai konsekuensi kegiatan pertanian, pengolahan dan
pengiriman/pendistribusian hasil pertanian.
Perilaku
membuang pangan dan limbah makanan memang jarang dijadikan topik
pembahasan, padahal dari data Kementerian Lingkungan Hidup terungkap
bahwa:
- Indeks Perilaku Peduli Lingkungan (IPPL) sebesar 0,57 dari angka mutlak 1.
- 49,3% pemenuhuhan bahan makanan masih berasal dari import.
- Konsumsi masyarakat akan produk lokal hanya 36,4 %.
Sebetulnya
ini adalah pekerjaan rumah bersama untuk tidak membeli/mengonsumsi
pangan secara berlebihan. Tidak hanya karena penduduk negara-negara
miskin rawan pangan tetapi juga sumber daya alam kita terbatas.
Penggunaan pestisida dan pupuk kimia mengakibatkan kerusakan tanah
bertambah parah. Dilain pihak pertambahan penduduk tak terbendung, dan
alih fungsi lahan tak terhindarkan.
Ada banyak langkah untuk peduli agar ketersediaan pangan keberlanjutan hingga generasi penerus, diantaranya:
- Membeli/mengonsumsi pangan sesuai kebutuhan.
- Mengurangi konsumsi produk impor dan menggantinya dengan produk lokal.
- Memulai urban farming, karena memiliki banyak manfaat.
- Memulai mengompos limbah organik, alih-alih membuangnya dalam kantung plastik.
Budaya
timur mengajarkan agar kita arif mengonsumsi makanan. Dilain pihak
perubahan global membawa dampak terhadap tuntutan kecepatan waktu dan
berakhir pada gaya hidup yang menafikan esensi makanan. Tidak ada yang
salah selama kita masih memiliki empati untuk tidak membuang-buang
makanan. Bukankah mengonsumsi pangan sesuai porsi berarti juga berhemat?
Selain itu jika kita mau mengubah perilaku dan pola konsumsi maka kita
akan menyelamatkan lingkungan, untuk saat ini dan berlanjut hingga
berabad-abad kemudian.
**Maria G. Soemitro**
Sumber data
Comments
Post a Comment