“Jika
pohon terakhir telah ditebang, ikan terakhir telah ditangkap, maka
barulah kita sadar bahwa manusia tidak dapat memakan uang”
Ungkapan
diatas sungguh mengena, manakala hutan kota Babakan Siliwangi
diperjuangkan oleh penggiat lingkungan hidup Bandung sementara walikota
Bandung bersikukuh mengizinkan pembangunan rumah makan di area tersebut
dengan alasan agar pengunjung hutan kota Babakan Siliwangi bisa makan
dan minum di tempat itu.
Keputusan
walikota Bandung mungkin merupakan suara berbagai pihak yang
berpendapat:”Toh hanya satu bangunan kecil yang menempati area demikian
besar”. Tetapi tidak ada asap tanpa api. Sebelum Pemerintah Kota Bandung
mengizinkan pembangunan Gedung Sasana Budaya Ganesa (Sabuga) ITB dan
Sarana Olahraha (Sorga), luas hutan kota Babakan Siliwangi adalah 7,1 ha
dan kini tersisa 3,8 ha, berbentuk tapal kuda.
Babakan Siliwangi bak oase di tengah kota. Tepatnya dulu bernama Lebak Gede
yang berarti lembah besar terletak di antara Dr. de Grootweg (sekarang
Jln. Siliwangi) , Huygenweg (sekarang Jln. Tamansari) dan Sungai
Cikapundung di sebelah baratnya. Sejak awal merupakan lahan terbuka
hingga sekitar tahun 1990-an. Ikon panoramanya adalah Villa Mei Ling
karya arsitek F.W. Brinkmann (1930), yang terletak di puncak jajaran
bukit di bagian utara.
Kawasan lindung ini pernah memiliki 7 mata air, 48 jenis pepohonan dan 24 jenis burung diantaranya Madu
Kuning atau Sriganti, Cekakak Jawa, Cekakak Sungai dan Elang Alap Cina.
Dari tujuh mata air hanya tersisa satu karena digunakan ITB dan
tertutup bangunan. Kondisi mata air nyaris tidak terawat dan hanya
digunakan tunawisma sebagai mandi cuci kakus (MCK).
Berbagai
alih fungsi yang dialami, Babakan Siliwangi tetap menjadi paru-paru
yang menjaga kualitas udara Kota Bandung dari polusi. Dalam sehari,
mampu menyuplai oksigen untuk 15.600 jiwa. Hal inilah yang mengundang
keresahan penggiat lingkungan, salah satunya Acil Bimbo yang berujar: “Ngan boga sakieu-kieuna, terus deuk dijieun rumah makan. Ieu ngabuktikeun birokrat lebih resep investor dibanding hutan kota (Cuma
punya sedikit, terus mau dibuat rumahmakan. Ini membuktikan birokrat
lebih senang investor dibanding hutan kota)” atau lebih tepatnya
birokrat lebih peduli pada investor daripada kesejahteraan masyarakat
yang membutuhkan pasokan oksigen.
Karena
itu penggiat lingkungan Bandung menggandeng Kementerian Lingkungan
Hidup untuk mendeklarasikan Babakan Siliwangi sebagai Hutan Kota (the
world city forest) pada perhelatan “Tunza International Children &
Youth Conference On the Environment 2011. Deklarasi yang diakui dunia.
Hutan kota bagi lingkungan yang berkelanjutan.
Sebagai
hutan kota, baku mutu Babakan Siliwangi telah melebihi batas maka
daerah tersebut bukan merupakan resapan air tetapi aliran air dan
tangkapan air hujan serta berfungsi melindungi kawasan di bawahnya. Di
beberapa lokasi nampak sisa penebangan dan pembakaran sedangkan sisi
lainnya penanaman kembali oleh peserta Tunza dan diteruskan oleh para
penggiat lingkungan hidup. Sebelum pengesahan sebagai Hutan Kota,
penggiat lingkungan hidup seolah kucing-kucingan dengan pihak pemerintah
Kota Bandung yang berharap menjadikan Babakan Siliwangi sebagai area
komersil.
Sekitar
tahun 1970-an disisi area menuju jalan Siliwangi pernah berdiri rumah
makan milik Pemerintah Kota Bandung yang bangkrut diawal tahun 2000-an.
Tahun 2003, beberapa bom Molotov menghancurkan bangunan rumah makan
tersebut. Tidak ada yang bertanggungjawab terhadap pembakaran tersebut.
Di kemudian hari PT EGI mendapat izin mendirikan kembali bangunan rumah
makan di atas lahan yang terbakar.
Para
penggiat lingkungan mengkhawatirkan izin tersebut disalah gunakan
menjadi berbagai bangunan komersil lainnya, karena PT. EGI merupakan
pengembang bangunan komersil seperti hotel, apartemen dan mall. Sudah
banyak kasus terjadi, ketika tiba-tiba bangunan sekolah internasional
bertengger di daerah Punclut, suatu daerah resapan air Kota Bandung.
Atau suatu hotel di jalan Dago tiba-tiba berekspansi dan memasuki
kawasan perumahan. Walaupun terlarang, tapi tidak ada tindakan tegas
apalagi merobohkan bangunan yang berdiri di kawasan yang bukan
peruntukannya. Bahkan pengembang menyiapkan berlapis pengaman pada waktu
persiapan dan pembangunan, berbagai protes masyarakat sekitar dianggap
angin lalu.
Karena
itu penggiat lingkungan seiya sekata, menolak pembangunan apapun. Sudah
begitu banyak contoh arogansi pemerintah Kota Bandung dan pengusaha
yang menafikan kebutuhan asupan oksigen penduduk Kota Bandung.
Kota
Bandung terletak dalam cekungan danau purba, Jumlah penduduk Kota
Bandung berkembang melebihi estimasi deret ukur. Penyebabnya bukan saja
penduduk asli enggan pindah ke daerah lain, tetapi juga penduduk daerah
lain berdatangan ke Kota Bandung bak semut mengerumuni gula. Sehingga
dalam relatif singkat penduduk Bandung berjumlah 2, 4 juta jiwa. Jumlah
tersebut melesat lebih banyak
tatkala siang hari para komuter yang berdomisili di luar kota Bandung
berdatangan mencari nafkah di kota Bandung.
Mengacu
pada UU RI No 26 tahun 2007 seharusnya setiap kota memiliki ruang
terbuka hijau (RTH) sebanyak 30 % dari luas wilayah kotanya. Sedangkan
Perda No.3 tahun 2006 tentang penataan ruang dan wilayah Kota Bandung
seharusnya memiliki 10 % RTH yang baru terpenuhi 6 %. Sehingga jelas
jika pemerintah Kota Bandung bersikukuh mengizinkan bangunan apapun di
kawasan hutan kota Babakan Siliwangi, maka pemerintah kota Bandung tidak
hanya menyepelekan kebutuhan pokok warga masyarakatnya yaitu pasokan
oksigen tetapi juga melanggar regulasi yang telah disepakati bersama.
Sebetulnya
hutan Babakan Siliwangi tidak hanya berfungsi sekedar RTH, tetapi juga
tempat pecinta seni, penggiat budaya dan aktivis lingkungan berkegiatan.
Dari arah jalan Siliwangi, melewati bekas rumah makan yang terbakar,
dengan mudah ditemukan sanggar-sanggar seni yang menerima dengan tangan terbuka siapapun yang ingin belajar disitu.
Secara periodik, Hayu Ulin di Baksil (HUB), Komunitas Sahabat Kota (KSK), Ganesha Hijau, Sahabat Wahana Lingkungan Hidup (SaWa) dan beberapa komunitas lainnya berkumpul
serta berinteraksi intens di hutan Babakan Siliwangi dan menjadikannya
ruang publik. Tidak hanya tempat berolahraga dan pergelaran seni,
beberapa komunitas mengisi kegiatan dengan melukis seng yang berfungsi
sebagai pagar hutan Babakan Siliwangi.
Di salah satu sudut hutan, terdapat sarana pamidangan
domba yang digunakan sebulan sekali oleh komunitas HPDKI (Himpunan
Peternak Domba Kambing Indonesia) Jawa Barat untuk mengadakan seni adu
domba. Setiap diadakan seni adu domba selalu mengundang banyak massa
untuk menonton hingga hutan kota tersebut menjadi hutan kota yang
sesungguhnya dengan adanya aktivitas publik yang positif di dalamnya dan
bukanlah sekedar hutan belantara.
Sehingga
ketika petisi penolakan terhadap bangunan apapun di atas kawasan hutan
Babakan Siliwangi tahun demi tahun digaungkan tanpa mengenal lelah maka
seharusnya pemerintah Kota Bandung lebih memahami kebutuhan warganya.
Karena mereka dipilih untuk menyejahterakan kehidupan warga bukan
pengusaha apalagi kantong pribadi.
Sebesar
apapun uang yang akan masuk ke pendapatan asli daerah (PAD) Bandung,
tidak akan ada artinya jika warga Kota Bandung kekurangan pasokan
oksigen bahkan terancam hidup dalam kubangan polutan.
“Baheula Parijs van Java, ayeuna borok jeung kusta. Baheula diriung gunung ayeuna heurin ku tangtung.” (Dul Sumbang)
**Maria Hardayanto**
sumber data:
Comments
Post a Comment