Tulisan ini meraih juara ketiga Hutan Indonesia Blog Competition :
http://blog.kompasiana.com/2013/04/27/pemenang-hutan-indonesia-blog-competition-550236.html
Begitu
banyak musibah terjadi di Indonesia, tetapi bencana banjir dan tanah
longsorlah yang paling menyedihkan. Karena penyebabnya kelalaian
manusia. Sehingga bisa diprediksi. Bisa dihindarkan. Tapi diabaikan.
Ibarat mengetahui pertanda suatu bangunan hampir roboh, tidak ada
seorangpun bertindak mengambil langkah penyelamatan. Apalagi membuat
perencanaan jangka panjang.
Demikian
pula penggundulan hutan yang menyebabkan tanah longsor dan banjir.
Kearifan lokal memberikan pemahaman bahwa manusia tidak dapat hidup
tanpa hutan. Hutan yang dipenuhi jalinan
akar pepohonan membantu mengikat tanah dan menyimpan air. Dedaunan,
ranting dan hewan mati membentuk lapisan tanah yang subur. Keaneka
ragaman hayati tidak saja memberikan kekayaan alam tetapi juga pasokan
oksigen.
Hutan membantu menstabilkan iklim dunia dengan menyerap karbondioksida
dari atmosfer. Karena pembuangan karbondioksida ke atmosfer menyebabkan
perubahan iklim melalui pemanasan global.
Sehingga
ketika pepohonan ditebang demi alih fungsi sebagai lahan pertanian atau
hutan tanaman industri dan di kawasan tertentu berubah menjadi
perumahan mewah, maka pelan tapi pasti, kawasan tersebut bakalan
longsor. Jika hujan besar, lapisan tanah yang subur pasti hilang tak
berbekas. Kerugian tidak sekedar harta dan nyawa tetapi juga kekayaan
alam milik generasi penerus. Alih fungsi lahan juga menyebabkan uap
air yang masuk ke atmosfer akan semakin berkurang, otomatis hujan yang
diturunkan turut berkurang sehingga terjadi krisis air dan kekeringan.
Oleh karena itu sungguh tidak masuk akal ucapan seorang pengusaha dalam
acara bincang-bincang di televisi yang menentang moratorium hutan. Dia
berkata mengapa kita harus menurut didikte negara asing? Bukankah alih
fungsi hutan menjadi perkebunan diperlukan karena rakyat kita masih
miskin?
Sementara perwakilan pelaku usaha kelapa sawit memrotes moratorium hutan dengan alasan bahwa melambatnya pembukaan lahan sawit hingga 50 %, berakibat hilangnya potential loss penyerapan tenaga kerja sebanyak 120 ribu orang di industri sawit.
Penyerapan
tenaga kerja tentunya diartikan pengurangan tingkat kemiskinan.
Pertanyaannya adalah sejauh mana dampak alih fungsi lahan? Karena jika
menyimak grafik berikut, tidak ada perubahan signifikan selama masa
kejayaan Indonesia mengekspor crude palm oil (CPO), hasil olahan kelapa
sawit. Padahal Indonesia
merupakan produsen CPO utama dunia dengan total produksi 25,2 juta ton
pertahun dengan cakupan lahan sawit versi pemerintah seluas 9,4 juta
hektar sedangkan data Sawit Watch 12 juta hektar.
Masalah
lainnya yang diabaikan tetapi justru terpenting adalah hilangnya
kehidupan yang berkelanjutan bersama punahnya keaneka ragaman hayati
yang dimiliki hutan. Alih fungsi lahan jelas telah menurunkan kualitas
hutan. Saat ini Indonesia ‘hanya’ memiliki
64,2 juta hektar hutan primer, 24,5 juta hektar lahan gambut, serta
36,6 juta hektar hutan sekunder. Pemerintah mempersilakan para
pengusaha, termasuk pengusaha kelapa sawit, untuk memanfaatkan hutan
sekunder sebagai lahan sawit.
Mengapa
‘hanya’? Karena jika kita melihat peta hutan Aceh sebagai contoh maka
akan terlihat betapa banyaknya kawasan hutan yang hilang. Tragedi tersebut terjadi juga terjadi di provinsi-provinsi yang lain dan dipulau-pulau yang lain pula.
Sehingga
ketika moratorium hutan diberlakukan dan ternyata mendapat tentangan
dari kalangan pengusaha, sudah seharusnya pemerintah bersikap tegas.
Moratorium semestinya dilihat sebagai alat, bukan tujuan, guna
menetapkan keadaan yang memungkinkan untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca, menyempurnakan tata kelola hutan dan lahan gambut.
Mubariq Ahmad
dari Kelompok Kerja Strategi Nasional REDD+ merekomendasikan,
perpanjangan moratorium dua tahun lagi. Karena sebelum moratorium
terdapat 15 lembaga yang memberi izin HGU dengan peta berbeda sehingga
harus dibuat satu map (one map) dan melembagakan system tata kelola baru pemberian izin yang memiliki fungsi pengawasan.
Tidak
mudah, tetapi harus dilakukan karena berbagai kesimpangsiuran tersebut
menimbulkan masalah, seperti kasus pemberian izin kebun sawit di Taman
Nasional Tesso Nilo oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Indragiri Hilir. Sungguh aneh, bagaimana mungkin muncul HGU untuk Taman Nasional yang begitu jelas peruntukannya sebagai area perlindungan bagi banyak spesies tumbuhan dan hewan termasuk diantaranya spesies yang terancam punah. Karena sesungguhnya Indonesia membutuhkan lebih banyak Taman Nasional semacam itu.
Lebih
lanjut Mubariq mengatakan bahwa dia tidak anti alih fungsi lahan
menjadi perkebunan kelapa sawit karena terbukti memberikan lapangan
kerja dan pendapatan Negara. Tapi dia menduga kuat adanya kepentingan
perusahaan mengumpulkan lahan sebanyak-banyaknya (land banking).
“Berapa banyak lahan tidur sawit, berapa harga sawit sekarang? Apakah
benar, kebun sawit masih perlu mencari lahan-lahan baru?”
“Sekarang
ini, masih ada sekitar 4 juta hektar lahan sawit yang belum ditanami.
Jika lahan itu ditanam secepat-cepatnya, 10 tahun lagi juga belum
selesai. Sehingga tidak ada alasan pertumbuhan sawit terhambat
moratorium. Ditambah beberapa tahun pun tak akan terhambat.” lanjutnya.
Dilain pihak Abetnego Tarigan, Direktur Nasional Walhi menyarankan perlu ada Undang-undang tentang penanggulangan perubahan iklim nasional. UU yang
berisi penetapan target penurunan emisi nasional dan mengatur upaya
mitigasi serta adaptasi perubahan iklim. Karena dikhawatirkan
kesimpangsiuran intervensi terhadap upaya mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim akan berdampak pada keputusan-keputusan pemerintah yang
ambigu. Kondisi ini, akan mempertajam berbagai ego sektoral yang
menyebabkan upaya-upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tak
efektif.
Kelompok
Kerja Strategi Nasional REDD+ dengan komprominya, Walhi dengan solusi
jangka panjangnya berusaha mengambil jalan tengah pergulatan antara
emosi kekinian dan keberlanjutan lingkungan bagi generasi yang akan
datang.
Generasi
yang akan datang membutuhkan kelestarian hutan agar terjaminnya
penghidupan yang berkelanjutan. Chamber R dan G. Conway menyebutkan
bahwa penghidupan berkelanjutan adalah penghidupan yang memampukan
orang/masyarakat untuk menghadapi dan pulih dari tekanan/guncangan,
memampukan orang/masyarakat untuk mengelola sumber daya untuk
kesejahteraannya saat ini maupun masyarakat pada kehidupan dimasa mendatang, serta tidak menurunkan kualitas sumber daya alam yang ada.
Sehingga
esensi permasalahan yang harus dijawab dari semua argumen adalah
sanggupkah kita memenuhi kebutuhan sekarang dengan mengorbankan
pemenuhan kebutuhan generasi masa depan? Tegakah kita berkata bahwa cara keluar dari kemiskinan generasi sekarang adalah dengan membiarkan generasi mendatang ‘sekarat’? Kita dan generasi mendatang memiliki 3 kebutuhan dasar yang sama: pangan, air dan oksigen. Dan ketiganya tidak akan terpenuhi jika hutan punah. Betapa kearifan lokal telah mengajarkan:
Leuweung Ruksak, Cai Beak, Manusa Balangsak…
No Forest, No Water, No Future…
No Forest, No Water, No Future…
Jadi
moratorium hutan bukan sekedar komitmen presiden RI, Susilo Bambang
Yudoyono untuk menurunkan emisi hingga 26 %, persoalan ini menyangkut
masa depan generasi penerus, karena kita hanya meminjam hutan milik
mereka.
***Maria Hardayanto***
Sumber:
Green Economy – Arief Anshory Yusuf
Comments
Post a Comment