"Apa aja sih kerjanya Gubernur Jakarta?"
Pertanyaan itu terlontar dari mulut kakak saya begitu melihat tayangan televisi tentang banjir Jakarta yang menyebabkan anak sulung saya urung ke Jakarta, Kamis 17 Januari 2013. Tentu saja gugatan tersebut ditujukan pada Gubernur DKI Jakarta sebelum era Bang Jokowi.
Sebagai orang awam, saya setuju pendapatnya. Gubernur DKI Jakarta pra
Bang Jokowi bak pemborong/kontraktor rumah mewah yang 'asal membangun'.
Tidak mempedulikan pembangunan saluran air (drainase), tidak
mempedulikan area disekelilingnya (daerah penyangga), tidak menertibkan
perilaku penghuni rumah dalam membuang sampah, abai terhadap tata
ruang dan yang paling miris semena-mena mengeksploitasi air tanah dalam
tanpa menghiraukan bahwa pembentukan fossil groundwater membutuhkan waktu jutaan tahun lamanya.
Jakarta, seperti kita ketahui berada di dataran rendah, dikepung daerah sekelilingnya (Jawa Barat) yang terletak di dataran tinggi. Sehingga ketika dari hulu aliran air sungai Citarum dan sungai Ciliwung meluap kearah hilir maka pastilah Jakarta terkena dampaknya. Diperparah pasang surut air laut, maka Jakarta ibarat digempur dari segala arah. Sekelilingnya (meluapnya air sungai dan air laut), atas (hujan deras), bawah (eksploitasi air tanah yang menyebabkan ketinggian Jakarta berkurang 5-18 cm/tahunnya).
Sayangnya Gubernur DKI Jakarta tempo doeloe tidak memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan Gubernur Jawa Barat, sehingga ketika dia mewacanakan megapolitan sebagai daerah pendukung DKI Jakarta, mencak-mencaklah sang Gubernur Jabar. Tak kurang dari satu halaman surat kabar harian Pikiran Rakyat memuat kekhawatiran Danny Setiawan tentang 'pencaplokan' daerah oleh Bang Yos. Padahal jika pemimpin tertinggi mampu mengayomi maka kedua kepala daerah ini tidak harus bersitegang. Karena bukan sekedar memperjuangkan nama baik Kota Jakarta sebagai ibukota Indonesia tetapi juga masalah kesejahteraan hidup sekitar 9,5 juta jiwa warga yang menempati luas wilayah 661,52 km2.
Banyak hal yang bisa dibicarakan dengan jernih, tapi yang terpenting adalah pengembalian tata guna lahan di kawasan hutan yang telah menjadi pemukiman elite serta bantaran sungai yang banyak dihuni perumahan liar sehingga menyebabkan sedimentasi dan akhirnya sungaipun semakin dangkal. Seiring bertambahnya jumlah penduduk, peralihan fungsi lahan memang tidak bisa dicegah. Tapi bisa ditertibkan. Untuk tugas itulah pemerintah daerah dibentuk dan dibiayai oleh uang rakyat.
Hal berikutnya yang tidak dikerjakan oleh Gubernur DKI Jakarta tempo doeloe adalah mewajibkan setiap bangunan memiliki sumur resapan dan atau lubang resapan biopori serta artificial recharge lainnya agar air hujan terserap ke dalam tanah yang bertujuan memperkecil aliran permukaan.
Selain itu, meskipun bukan kebijakan populis tetapi pembebanan biaya air tanah rupanya wajib dilakukan karena pengambilan air tanah yang justru dilakukan gedung-gedung bertingkat berkontribusi sebanyak 30 % terhadap kenaikan permukaan air laut. Bertolak belakang dengan rakyat kecil yang justru terkena komersialisasi air sehingga harus menggunakan 10 - 30 persen penghasilannya untuk membeli air.
Pemerintah DKI Jakarta juga harus mulai tegas dalam pengaturan pengelolaan sampah. Tidak hanya sekedar memberi sanksi tapi memberi solusi. Karena bukan hanya perilaku membuang sampah yang harus ditertibkan tetapi tempat pembuangan sampah akhir (TPA) mempunyai batas maksimum. Jumlah warga yang membuang sampah bertambah banyak sedangkan luas tanah tetap, sehingga ada kemungkinan Jakarta mengalami nasib seperti Bandung: menjadi lautan sampah.
Bagaimana dengan system kanal yang selama ini digadang-gadang para Gubernur pendahulu Bang Jokowi? Sayang sekali penelitian mendalam yang dilakukan Restu Gunawan dan dibukukan dengan judul: Gagalnya Sistem Kanal; Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (1883-1985)" menyimpulkan bahwa:
"Sistem kanal tidak berhasil karena topografi Jakarta yang datar sehingga air tidak bisa mengalir secara gravitasi. Sedimentasi lumpur dan sampah juga menyebabkan aliran air tidak lancar. Pengendalian banjir dengan pembangunan kanal atau saluran hanya mampu mengurangi beban banjir sesaat. Namun, apabila ada energi baru, yaitu hujan yang lebih tinggi dengan periode ulang lebih lama, maka bahaya dan kerugian akan lebih besar karena kapasitas tampung air akan terlewati, sementara itu daerah sekitar sudah berubah menjadi kawasan terbangun sehingga banjir akan masuk ke wilayah-wilayah di sekitarnya."
Nah lo ribet ya? Sebetulnya tidak juga apabila Gubernur DKI Jakarta mau mendengar saran dari para ahli. Mereka lulusan terbaik yang mau mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membantu penataan dan pengelolaan Kota Jakarta. Memang sih, saran mereka sering berseberangan dengan keinginan pejabat pemerintah, karena saran mereka murni untuk kesejahteraan warga bukan untuk kemakmuran segelintir orang.
**Maria Soemitro**
Sumber:
http://rujak.org/
http://dsdapjakarta.com/
Marco Kusumawijaya
Pertanyaan itu terlontar dari mulut kakak saya begitu melihat tayangan televisi tentang banjir Jakarta yang menyebabkan anak sulung saya urung ke Jakarta, Kamis 17 Januari 2013. Tentu saja gugatan tersebut ditujukan pada Gubernur DKI Jakarta sebelum era Bang Jokowi.
Jakarta, seperti kita ketahui berada di dataran rendah, dikepung daerah sekelilingnya (Jawa Barat) yang terletak di dataran tinggi. Sehingga ketika dari hulu aliran air sungai Citarum dan sungai Ciliwung meluap kearah hilir maka pastilah Jakarta terkena dampaknya. Diperparah pasang surut air laut, maka Jakarta ibarat digempur dari segala arah. Sekelilingnya (meluapnya air sungai dan air laut), atas (hujan deras), bawah (eksploitasi air tanah yang menyebabkan ketinggian Jakarta berkurang 5-18 cm/tahunnya).
Sayangnya Gubernur DKI Jakarta tempo doeloe tidak memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan Gubernur Jawa Barat, sehingga ketika dia mewacanakan megapolitan sebagai daerah pendukung DKI Jakarta, mencak-mencaklah sang Gubernur Jabar. Tak kurang dari satu halaman surat kabar harian Pikiran Rakyat memuat kekhawatiran Danny Setiawan tentang 'pencaplokan' daerah oleh Bang Yos. Padahal jika pemimpin tertinggi mampu mengayomi maka kedua kepala daerah ini tidak harus bersitegang. Karena bukan sekedar memperjuangkan nama baik Kota Jakarta sebagai ibukota Indonesia tetapi juga masalah kesejahteraan hidup sekitar 9,5 juta jiwa warga yang menempati luas wilayah 661,52 km2.
Banyak hal yang bisa dibicarakan dengan jernih, tapi yang terpenting adalah pengembalian tata guna lahan di kawasan hutan yang telah menjadi pemukiman elite serta bantaran sungai yang banyak dihuni perumahan liar sehingga menyebabkan sedimentasi dan akhirnya sungaipun semakin dangkal. Seiring bertambahnya jumlah penduduk, peralihan fungsi lahan memang tidak bisa dicegah. Tapi bisa ditertibkan. Untuk tugas itulah pemerintah daerah dibentuk dan dibiayai oleh uang rakyat.
Hal berikutnya yang tidak dikerjakan oleh Gubernur DKI Jakarta tempo doeloe adalah mewajibkan setiap bangunan memiliki sumur resapan dan atau lubang resapan biopori serta artificial recharge lainnya agar air hujan terserap ke dalam tanah yang bertujuan memperkecil aliran permukaan.
Selain itu, meskipun bukan kebijakan populis tetapi pembebanan biaya air tanah rupanya wajib dilakukan karena pengambilan air tanah yang justru dilakukan gedung-gedung bertingkat berkontribusi sebanyak 30 % terhadap kenaikan permukaan air laut. Bertolak belakang dengan rakyat kecil yang justru terkena komersialisasi air sehingga harus menggunakan 10 - 30 persen penghasilannya untuk membeli air.
Pemerintah DKI Jakarta juga harus mulai tegas dalam pengaturan pengelolaan sampah. Tidak hanya sekedar memberi sanksi tapi memberi solusi. Karena bukan hanya perilaku membuang sampah yang harus ditertibkan tetapi tempat pembuangan sampah akhir (TPA) mempunyai batas maksimum. Jumlah warga yang membuang sampah bertambah banyak sedangkan luas tanah tetap, sehingga ada kemungkinan Jakarta mengalami nasib seperti Bandung: menjadi lautan sampah.
Bagaimana dengan system kanal yang selama ini digadang-gadang para Gubernur pendahulu Bang Jokowi? Sayang sekali penelitian mendalam yang dilakukan Restu Gunawan dan dibukukan dengan judul: Gagalnya Sistem Kanal; Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (1883-1985)" menyimpulkan bahwa:
"Sistem kanal tidak berhasil karena topografi Jakarta yang datar sehingga air tidak bisa mengalir secara gravitasi. Sedimentasi lumpur dan sampah juga menyebabkan aliran air tidak lancar. Pengendalian banjir dengan pembangunan kanal atau saluran hanya mampu mengurangi beban banjir sesaat. Namun, apabila ada energi baru, yaitu hujan yang lebih tinggi dengan periode ulang lebih lama, maka bahaya dan kerugian akan lebih besar karena kapasitas tampung air akan terlewati, sementara itu daerah sekitar sudah berubah menjadi kawasan terbangun sehingga banjir akan masuk ke wilayah-wilayah di sekitarnya."
Nah lo ribet ya? Sebetulnya tidak juga apabila Gubernur DKI Jakarta mau mendengar saran dari para ahli. Mereka lulusan terbaik yang mau mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membantu penataan dan pengelolaan Kota Jakarta. Memang sih, saran mereka sering berseberangan dengan keinginan pejabat pemerintah, karena saran mereka murni untuk kesejahteraan warga bukan untuk kemakmuran segelintir orang.
**Maria Soemitro**
Sumber:
http://rujak.org/
http://dsdapjakarta.com/
Marco Kusumawijaya
Kebiasaan membuang sampah sembarangan merupakan faktor paling utama penyebab masalah banjir. Kesadaran memelihara lingkungan entah kapan menyerap dalam kehidupan sehari-hari. Manusia Indonesia seakan tidak belajar dari pengalaman buruk. Amnesia.
ReplyDelete