Sebanyak 68 pohon mahoni dan angsana berusia 30-40 tahun ditebang untuk proyek pelebaran dan peninggian jalan A.H. Nasution (Ujungberung) Bandung.
“Penebangan pohon tersebut sudah dikoordinasikan dengan sejumlah pihak terkait dan baru akan diganti setelah proyek selesai”, ujar Sekretaris Dinas Pertamanan dan Pemakaman (Distamkam) Kota Bandung Arief Prasetya, Minggu (2/5)
( Pikiran Rakyat, Senin 3 Mei 2010 )
Pertanyaannya : “Siapakah pihak terkait yang dimaksud ?”
Warga yang direnggut suplai oksigennya dan harus menunggu 30 tahun lagi ?
Warga yang dipaksa hidup di udara panas dan makin menyengat hingga mengakibatkan turunnya produktifitas dan kreatifitas ?
Warga yang dapat dipastikan akan makin kekurangan air karena pohon berumur 30-40 tahun yang “pandai” menyimpan air telah lenyap ?
Dan apakah warga mempunyai hak protes ?
Hak yang sama seperti ketika air ledeng berhenti ngocor , listrik byar pet, bbm langka dan pelayanan masyarakat yang kurang memuaskan !
Harusnya bisa, tetapi apakah ada yang peduli ? Pelayanan masyarakat yang dapat dihitung secara kwantitatif saja begitu mudah diabaikan, apalagi penghitungan kwalitatif fungsi pohon penyuplai oksigen, hawa sejuk, penetralisir polutan dan penyimpan air.
Distamkam kota Bandung mungkin bisa berkilah bahwa pohon-pohon tersebut harus ditebang demi pembangunan, demi kemajuan perekonomian, demi kemakmuran warga.
Tetapi apalah arti kemakmuran yang didefinisikan ”warga mempunyai uang banyak” apabila fisiknya “sakit” karena harus menghirup udara berpolusi dan defisit air bersih ?
Sebetulnya ada solusi cerdas yaitu membangun jalan dan menanam pohon pengganti yang direncanakan tanpa buru-buru menebang pohon berumur 30-40 tahun tersebut. Pohon baru ditebang setelah pohon penggantinya siap menggantikan fungsi pohon pendahulunya.
Memang membutuhkan kesabaran dan perhatian lebih, tapi hasil yang diperoleh sungguh sepadan. Warga yang sehat serta berproduksi dan berkreatifitas tinggi tidak dapat dinilai secara kwantitatif dan instan.
Contoh pelebaran jalan tanpa buru-buru menebang pohon berusia “tua” sebetulnya sudah dilaksanakan di perempatan jalan LLRE Martadinata Bandung, jadi mengapa hal yang sama tidak bisa dipraktekkan di proyek pelebaran jalan yang lain ?
Semoga jawabannya bukan “ga mau cape” atau “sekalian proyeknya yang berarti sekalian uang proyeknya !” Karena kerugian yang diderita warga khususnya dan negara akhirnya sungguh tak sepadan dengan “ga mau cape atau uang proyek” tersebut !
Selain itu hak warga atas lingkungan hidup sebetulnya sudah dilindungi undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Masalahnya sosialisasi undang-undang tersebut belum menyentuh masyarakat padahal isinya sarat mengandung kearifan pengelolaan lingkungan hidup, contoh penjelasan umum 1,1 :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warganegara Indonesia.
Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadisumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta mahluk hidup lain.
Nah, ……………………..masih kurangkah ?
Comments
Post a Comment