Untuk memperingati Hari Koperasi 2012, pemerintah provinsi Jabar menyelenggarakanCooperative Fair di lapangan Gasibu Bandung pada tanggal 14 Juli 2012 dimana direncanakan ada sesi penerbangan 200 ekor burung pipit kealam bebas. Apa relevansi seremonial dilepaskannya burung dari sangkar dengan Hari Koperasi ? Entahlah, yang jelas ke-200 ekor burung pipit tersebut mati sia-sia.
Ada banyak alasan mengapa panitia memilih menerbangkan burung pipit. Tetapi alasan yang masuk akal adalah latah isu lingkungan. Mungkin panitia membayangkan akan keindahan burung-burung yang beterbangan seperti benda semisal balon-balon yang diterbangkan pada setiap acara seremonial.
Panitia menafikan bahwa ke 200 burung pipit tersebut bernyawa. Mereka bukan benda sehingga ketika dilepaskan pada lingkungan asing mereka harus beradaptasi. Mereka akan celingukan bingung!
Layak dipertimbangkan pernyataan Nadia Rahma Yusnita dari bird conservation society (Bicons ) yang menyesalkan kejadian tersebut dan menduga latahnya panitia karena tidak dibekali pemahaman yang cukup sehingga:
- Sambil menunggu giliran dilepaskan ke alam bebas, ke-200 burung pipit tersebut dijejalkan dalam satu kandang kecil sehingga kekurangan oksigen.
- Jam karetnya pejabat yang direncanakan membuka acara pada pukul 08.00 pagi tapi ternyata baru terlaksana pukul 11.00 WIB menyebabkan ke-200 burung kepanasan dan mati.
Harusnya kejadian ini menjadi pelajaran berharga untuk semua pihak. Sehingga tak luput dari pemberitaan media mainstream yang jeli meliput. Sayangnya hingga tulisan ini diposting tanggal 23 Juli 2012, hanya Endy Sulistiawan, aktifis lingkungan hidup dari Yayasan Kontak Bandung yang mengunggah foto tersebut di Berita Foto Kompas.com.
Sedangkan yang lainnya? Senyap! Mungkin karena seperti masyarakat awam umumnya yang memandang bahwa burung-burung tersebut hanya sekedar objek. Hanya sekedar bagian seremonial. Nyawanya ngga penting!
Padahal apabila mau dicermati, langkah panitia sudah salah semenjak awal. Tidak hanya acara pelepasan burung yang nggak nyambung dengan Hari Koperasi 2012. Tetapi juga salah memilih jenis burung. Apabila burung-burung ini dilepaskan , akan makan apa mereka? Karena daerah perkotaan bukanlah habitat para burung pemakan biji-bijian ini. Dilain pihak harga urband bird memang mahal, tapi bukan berarti harus menggantinya dengan yang murah.
Sudah seharusnya merubah cara pandang. Burung pipit bukan sekedar mahluk tak dikehendaki karena hanya mematuk padi disawah sehingga diperlukan orang-orangan sawah untuk mengusirnya. Tetapi mereka adalah bagian ekosistem yang diperlukan untuk lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Burung pipit dan berbagai fauna lainnya akan datang, menjadi bagian ekosistem apabila lingkungan hidup yang ada cukup kondusif. Mereka bahkan bisa mencari makan di antara sampah yang menumpuk. Tetapi keberadaannya tidak serta merta. Harus ada proses. Sebagian dari mereka akan mati. Sebagian lagi berkembang biak dalam lingkungan hidup penuh polutan.
Bisa dibayangkan burung pipit sebagai bagian seremonial dilepaskan begitu saja. Tanpa mau tahu bahwa “dunia kejam” menunggu. Dunia yang siap memangsa dan menyebabkan mereka mati. Sehingga kalaupun tidak mati dalam kandang, mereka akan berhadapan dengan kehidupan yang siap memangsa nyawa. Mulai dari kebingungan mencari makan, adanya predator hingga kebutuhan akan “rumah” yang nyaman.
Karena itu sudah waktunya untuk menghentikan kebiasaan melepaskan burung pada acara seremonial. Mereka adalah mahluk bernyawa ciptaan Tuhan yang harus dihargai setiap tarikan nafasnya. Membiarkan peristiwa ini berlalu begitu saja sama biadabnya dengan pembantaian mahluk bernyawa lainnya. Mati karena keteledoran.
Peristiwa yang sama tidak boleh terulang. Khusus bagi panitia penyelenggara, harus ada teguran dan peringatan. Mereka tidak berhak menyabut nyawa mahluk ciptaan Tuhan dengan sewenang-wenang. Sekecil apapun mahluk itu. Karena mereka bukan penciptanya.
**Maria Hardayanto**
Comments
Post a Comment