Penggalan buah pemikiran Vandana Shiva, seorang pemikir dan aktivis lingkungan hidup tersebut menyapa siapapun yang datang pada peluncuran buku “Kehausan di Ladang Air”, Pencurian Air di Kota Bandung dan Hak Warga yang Terabaikan.
Diluncurkan pada tanggal 22 Maret 2012 bertepatan dengan Hari Air Internasional, di Simpul Space, BCCF, Jalan Purnawarman nomor 70 Bandung, tempat ajang kreativitas warga Bandung bertemu dan beradu. Berlangsung dari sore dimana isi buku dikupas dan permasalahan air didiskusikan dengan narasumber yang terkait . Hingga malam hari karena bukan kota Bandung namanya apabila ajang kreativitas seni musik tidak diberi ruang untuk menunjukkan eksistensinya.
Buku “Kehausan di Ladang Air” merupakan karya Zaki Yamani, seorang jurnalis harian umum terkemuka di Jawabarat, ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, peraih Mochtar Lubis Fellowship, peraih Developing Asia Journalism Awards (DAJA), penghargaan jurnalisme tingkat Asia-Pasifik dan peraih Anugerah Adiwarta Sampoerna.
Mungkin berlebihan menyebut deretan penghargaannya tetapi mungkin juga tidak. Karena pada peluncuran perdana bukunya, sang penulis justru berhalangan hadir. Zaki harus ke Garut untuk peliputan, mengutamakan tugas jurnalis dibanding seremoni buku.
Tetapi walau tidak dihadiri sang penulis buku, acara berlangsung meriah. Maklumlah buku ini didukung dan diterbitkan atas kerjasama Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Bandung Urbane Community, Walhi Jabar dan FK3I Jabar. Sehingga semua bekerja sama mempromosikan dan menyebarkan buku ini sebanyak mungkin.
Langkah Zaki memang tepat, karena ini bukan buku biasa. Pembaca seolah diajak melihat fragmen-fragmen kehidupan kota Bandung khususnya di pemukiman padat penduduk. Tentang produktivitas penduduk yang menurun karena harus mengantri air atau begadang akibat menunggu air. Tentang pedagang air dan lingkarannya. Tentang premanisme, pemasangan instalasi illegal oleh oknum PDAM. Tentang ormas yang blak-blakan dicantumkan identitasnya oleh Zaki. Dan tentang betapa iklim politikpun mampu mempengaruhi kebijakan air minum.
Sehingga tidak berlebihan ketika pejabat Walhi mengatakan bahwa buku (termasuk penulisnya) menuai ancaman dan kecaman pihak “terkait”. Buku ini membongkar semuanya hingga terlihat terang benderang walau untuk beberapa hal tidak dibuka karena penulisnya berpegang teguh pada keakuratan data.
Ogie Hendarsyah, salah seorang pejabat Walhi tertawa ketika ditanya, mengapa pejabat PDAM tidak ada yang datang sebagai narasumber.
“Wah nanti diborong atuh oleh mereka”.
“Biarin, cetak aja lagi”, timpal penulis ikut tertawa sambil meneguk bandrek panas yang manis dan pedas.
Konsumsi acara ini memang sangat khas. Minuman bandrek dengan parutan kelapanya, bajigur dengan irisan kolang kaling. Serta cemilan organis: kacang rebus, pisang rebus, ubi rebus dan singkong rebus. Enak dan mengenyangkan ^-^
Walaupun narasumber dari PDAM tidak datang tetapi ada dari LSM K3A yang selama ini bergelut dengan masalah air, perwakilan Pusat Sumber Daya Air (PSDA) Jawabarat dan Pakar Hidrologi hutan dan DAS, Chay Asdak, perwakilan YPBB Fictor Ferdinand , serta Dwi Sawung dari Walhi sebagai moderator.
Buku setebal 162 halaman ini mungkin menyebalkan untuk penguasa tetapi enak dibaca. Bahkan untuk kelas pelajar karena cukup “renyah”. Membongkar sindikasi tanpa membuat pembacanya harus mengernyitkan dahi.
Tanpa solusi karena memang tidak dimaksudkan untuk mengajari tapi untuk memotret realita lingkaran benang kusut perdagangan air dimana rakyat miskin menjadi korbannya. Potret yang tidak pernah dilihat dan dibaca penguasa sehingga mereka sering salah membuat kebijakkan.
Potret yang sama kemungkinan besar juga terjadi di seluruh kota besar di Indonesia. Masyarakat miskin kota- kota besar yang harus berjibaku mendapatkan air bersih akibat pelanggaran konstitusi oleh pejabat berwenang sesuai UUD 1945 pasal 33:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Karenanya tidak berlebihan apabila hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Jawabarat Tahun 2009 dibawah ini kemungkinan besar juga terjadi di DKI Jakarta yang sedang hiruk pikuk memilih pemimpin baru.
30 juta meter kubik air yang diproduksi PDAM Kota Bandung - atau air sebanyak 181,81 kolam seluas lapangan sepak bola standard internasional, dengan kedalaman 20 meter - hilang setiap tahunnya.
Atau sang penulis mengajak pembaca untuk: “Bayangkan kolam air raksasa yang luasnya sama dengan lapangan sepak bola internasional yang paling luas, panjang 110 meter dan lebar 75 meter. Bayangkan kedalaman kolam itu 20 meter atau setara dengan gedung setinggi lima tingkat. Jika kita ukur, volume totalnya adalah 165.000 meter kubik. Kemudian bayangkan di seluruh Kota Bandung 181 kolam air raksasa seperti itu, yang jika ditotalkan volumenya nyaris 30 juta meter kubik. Dengan wilayah yang terdiri atas 30 kecamatan, setiap kecamatan bisa mendapat jatah 6 kolam air raksasa itu. Atau, jika didistribusikan ke 151 kelurahan yang ada di Kota Bandung, setiap kelurahan bisa mendapat jatah satu hingga dua kolam air raksasa. Sungguh bukan main, kolam air minum raksasa gratis di setiap kelurahan!”
Sayang kolam raksasa itu tidak merata di setiap kecamatan, apalagi kelurahan. Karena seharusnya disitulah peran pemerintah untuk arif mendistribusikan air minum pada warga masyarakat. Bukan justru sebaliknya, mengkomersialisasikan untuk kepentingan segelintir oknum.
Please deh, ……….. harga pangan mahal, harga sandang dan papan juga mahal, masak sih harga air juga mahal? ………
**Maria Hardayanto**
Sumber foto : disini, disini dan disini
Comments
Post a Comment