Tapi itu kisah dahulu kala. Sewaktu penulis masih duduk di sekolah lanjutan di kota Sukabumi, Jawabarat. Karena lima belas tahun kemudian kisah sedih dimulai. Air dari PDAM tidak keluar setetespun di siang hari. Kran hanya mengeluarkan airnya di malam hari, memaksa setiap anggota keluarga harus bergiliran begadang untuk mengisi penuh tong-tong air cadangan. Tidak mau? Ya, …. lupakan mandi, memasak apalagi mencuci baju.
Beberapa keluarga yang mampu membuat sumur dan memasang jet-pump. Selebihnya “nrimo” dengan keadaan dimana air mengalir suka-suka.
Kisah penduduk Sukabumi yang terkena imbas privatisasi air ternyata lebih beruntung dibanding penduduk di pemukiman padat Bandung seperti daerah Jamika, Cicadas, Braga City Walk, jalan Rajawali dan Babakan Surabaya. Aliran air dari PDAM tidak hanya mengalir kecil selama 5 jam per hari tetapi juga bewarna kekuningan dan berbau. Untuk mengatasi kebutuhan air pada waktu memasak dan mencuci peralatan makan/ /minum mereka harus rela membeli air dalam gerobak. Satu gerobak berisi 15 jeriken atau 125 liter seharga Rp 4.000.
Mirisnya tragedy ini justru menimpa keluarga miskin di kota Bandung. Penghasilan mereka Rp 2.898.000 per tahun atau Rp 241.500 per bulan dan penduduk hampir miskin dengan penghasilan Rp 479.250,00 (data penerima bantuan langsung tunai (BLT) tahun 2005). Mereka harus menganggarkan pembelian air sekitar Rp 60.000 - Rp 150.000/bulan.
Lebih miris lagi karena air yang mereka beli ternyata berasal dari pengusaha air yang menggunakan jetpump untuk mengambil air dari PDAM. Selain mereka ada juga pengusaha air yang mengambil keuntungan dari sekitar 80 mata air (seke; bahasa Sunda) di Bandung.
Mata air? Bagaimana mungkin air yang berasal dari mata air diperjualbelikan? Karena sepengetahuan penulis, mata air yang berada di lahan seorang pemuka masyarakat daerah Sekemirung (gambar diatas) digunakan oleh siapapun yang memerlukan. Mereka dipersilakan menggunakan sepuas mungkin asal menjaga kelestariannya. Halmana sering dilalaikan oleh para pengguna air.
Bisnis air memang menggiurkan. Apalagi ketika bisnis depot air minum isi ulang mulai marak. Banyak lahan tempat mata air dijual pemiliknya. Penguasa baru mengambil air dan menjualnya ke pengusaha truk tangki air. Atau malah dia sendiri pemilik lahan sekaligus pemilik truk-truk tangki yang mengirim air ke pelanggan rumah tangga dan depot air minum isi ulang.
Ada ribuan depot air minum isi ulang di Bandung Jawabarat. Sayangnya tidak ada data resmi berapa banyak jumlah air yang diambil dari sejumlah mata air. Apabila dari 50 % sejumlah 80 mata air di Bandung dijadikan ladang uang dan setiap mata air mengisi sekitar 10 truk tangki 5.000 liter. Maka sekitar 400 truk tangki atau sebanyak 2.000.000 liter (2.000 meter kubik) per hari diperdagangkan.
Menghidupi pengusaha air dan rantai perdagangannya sekaligus melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 yang mengamanatkan:
“Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif.”
Tetapi melalui UU Nomor 7 Tahun 2004 tersebut, pemerintah juga melegalkan privatisasi air yang bertujuan memperbaiki distribusi air bersih bagi rakyat. Peranan pemerintah hanya sekedar fasilitator yang menjual hak layanan air bersih ke perusahaan swasta. UU No 7 tahun 2004 juga menegaskan adanya desentralisasi kewenangan yang membuka kesempatan bagi perusahaan-perusahaan jasa air berhubungan langsung dengan pemerintah daerah tanpa persetujuan pemerintah pusat.
Sayangnya privatisasi air tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), 36 % penduduk Jakarta belum terlayani pipa Perusahaan Air Minum (PAM) sedangkan sisanya harus “ikhlas” dengan kualitas air yang kotor sementara tarifnya justru naik 10 kali lipat.
Privatisasi tidak hanya disektor kran (PDAM) tetapi juga merambah ke komoditas air mineral botol. Beberapa pemain raksasa dunia industry air duniapun ikut menikmati manisnya jualan air di Indonesia, yaitu: Suez, Thames dan Danone.
Akibatnya sungguh fatal, tidak hanya sawah-sawah yang kekeringan, penduduk di sekitar “mata air pegunungan” harus mengonsumsi air selokan yang kotor untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aliran air kotor yang harus diendapkan sebelum digunakan itupun tidak didapat cuma-cuma. Ada kecurigaan, kecemburuan sosial hingga percekcokkan dengan golok terhunus.
Karenanya tidak berlebihan adagium yang menyatakan bahwa air di negeri Indonesia sudah lama bukan milik rakyat. Ada salah kelola, ada pembiaran dan yang terparah adalah ada mafia yang bermain. Mereka mengeruk keuntungan dari air. Adanya regulasi setengah hati memupuk kelihaian mereka ditambah pengawasan yang “seadanya” maka komplitlah derita rakyat kecil.
Anehnya apabila ada yang mempertanyakan kualitas dan kuantitas air minum, jawaban para pejabat hampir seragam: “Kondisi air kritis karena keterbatasan persediaan air baku, bertambahnya jumlah penduduk, tidak menentunya cuaca, penebangan pohon dan penutupan permukaan tanah sehingga air tidak meresap ke dalam tanah”.
Jawaban klise. Karena dengan curah hujan 2.500 mm per tahun harusnya tidak ada warga yang mengais air kotor. Tidak ada ketimpangan dimana warga kaya membayar air PAM murah dan menghambur-hamburkan air kemasan sedangkan warga miskin harus antri air atau membeli air dengan harga mahal.
Solusinya? Pakar hidrologi hutan dan DAS, Chay Asdak mengemukakan ide pajak progresif. Semakin kaya seseorang, semakin banyak air yang digunakan maka rupiah yang harus dia bayar lebih besar pula. Hal ini berkaitan juga dengan penggunaan hemat air, karena air yang dibeli murah cenderung dipergunakan dengan tidak bijaksana.
Sedangkan Anggota Dewan Pengawas PDAM Kota Bandung, M. Iqbal Abdul Karim menyarankan agar penerimaan khususnya laba PDAM jangan dihitung sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) tetapi dimasukkan pada pos investasi sehingga memperlancar kinerja PDAM dan memperluas jangkauan ketersediaan air bersih bagi masyarakat.
Supardiyono Sobirin, pakar DPKLTS, anggota Dewan Air mempunyai pendapat berbeda, dia mengajak masyarakat berperan dalam pengelolaan sumber daya air terpadu (Integrated Water Resources Management/IWRM). Karena IWRM lebih bisa diharapkan keberhasilannya mencapai ketahanan sumber daya air melalui beberapa pendekatan sesuai kultur masyarakat.
Solusi yang ditawarkan Sobirin memang perlu waktu bahkan menimbulkan sikap skeptis. Tapi seperti yang dikemukakan Koordinator Advokasi KRuHA (Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air), Muhammad Reza bahwa permasalahan air bersih di Indonesia karena pemerintah salah dalam mengelola sumber daya air. Pendekatan pengelolaan air oleh pemerintah mengarah pada komersialisasi yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi.
Pasal 33 UUD 1945:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Jadi ketika pemerintah tidak tunduk pada konstitusi, menjadi sah-sah saja apabila masyarakat menuntut pemerintah mengembalikan pengelolaan air dari privat kepada pengelolaan public.
Pertanyaan selanjutnya adalah mampukah kita mengelola sumber daya air seperti saran Supardiyono Sobirin? Mengingat hubungan masyarakat perkotaan tidak lagi guyub (rukun), tapi bersifat transaksional.
**Maria Hardayanto**
sumber data :
- Greenersmagz.com
- Kehausan di Ladang Air (Zaki Yamani)
- Supardiyono Sobirin (DPKLTS)
- www.beritalingkungan.com
Comments
Post a Comment