membakar sampah di area akar pohon (dok.Maria Hardayanto) |
“Satu pohon dewasa memproduksi oksigen cukup untuk kebutuhan 2 orang dewasa. Marilah tanam dan pelihara pohon sekarang juga“.
Pesan (SMS) dari Menteri Lingkungan Hidup ini pernah dikirim ke sekitar 18 juta pelanggan provider yang bersangkutan pada bulan Oktober 2010 silam. Efektifkah? Nampaknya sulit mengingat mayoritas pengguna telfon genggam adalah penduduk perkotaan yang tinggal di lahan terbatas sehingga menanam 2 pohon dewasa terdengar mengada-ada. Dengan lahan terbatas penghobi tanaman harus puas mememelihara tanaman hias.
Tetapi ada pesan implisit bahwa keberadaan pohon hanya dimaknai sebagai penghasil oksigen. Pohon hanya suatu bentuk tanpa nyawa yang harus diproduksi sebanyak-banyaknya karena kita sebagai manusia membutuhkannya. Pohon hanyalah komoditas yang bisa diperjualbelikan.
Padahal pohon maupun manusia mempunyai kedudukan yang sama. Sama-sama mempunyai nilai tawar. Khususnya dalam ikatan ketergantungan dalam ekosistem. Pohon, manusia dan binatang hidup dalam satu lingkaran tak terputus. Satu dengan yang lain saling membutuhkan. Kehidupan tidak akan berjalan normal apabila salah satu punah. Bahkan manusia harus jujur mengakui bahwa pohon dan binatang bisa hidup tanpa manusia sedangkan manusia tidak bisa hidup tanpa pohon dan binatang.
Karena itulah nenek moyang kita memosisikan pohon dan binatang pada kedudukan seimbang. Bahkan diberi nama dan kerap diajak berbicara. Yang anehnya kerap dianggap kuno, jadul dan dituduh berbau mistik oleh generasi abad teknologi tinggi. Hingga ketika bencana demi bencana datang , generasi tersebut harus mengakui bahwa kearifan lokal diperlukan untuk mengembalikan semua unsur dalam lingkaran ekosistem pada tempatnya dan kehidupan bisa menjadi normal kembali.
Salah satu bentuk sikap manusia yang meremehkan keberadaan pohon dan menjurus kanibalisme tampak pada gambar berikut.
Sikap arogan serta tidak peduli masyarakat mungkin karena arus budaya modernisasi yang mencabut manusia dari akarnya. Sehingga merupakan tugas bersama. Bukan hanya tugas kementerian lingkungan hidup semata tetapi juga kementerian pendidikan nasional, kementerian agama, tokoh masyarakat, media dan yang terutama adalah keluarga.
Mengajak ngobrol tanaman dan binatang peliharaan harusnya dibiasakan kembali tanpa takut dianggap “orang aneh” atau “tak wajar”. Karena yang diajak bercakap-cakap adalah mahluk hidup bukan benda mati seperti tas dan sepatu branded. Mahluk hidup yang akan membalas kebaikan dengan kebaikan. Bahkan sering lebih dari yang manusia berikan.
Ketika manusia memperlakukan pohon sebagai mahluk hidup, maka akan tumbuh ikatan batin, semangat kepedulian untuk saling memberi. Dengan senang hati manusia memeriksa kesehatan pohon dan mengobati ketika sakit. Memangkas daunnya yang gondrong supaya mendapat cukup sinar matahari.
Apabila semangat saling memberi sudah terjalin, manusia tidak perlu ketakutan pohon tumbang. Karena umur pohon bisa mencapai puluhan hingga ratusan tahun. Tetapi bagaimana mungkin mereka hidup normal dan memasok oksigen apabila setiap saat disekitar area akarnya menjadi tempat pengumpulan dan pembakaran sampah (gambar1)?
Padahal tak kurang banyaknya peraturan pemerintah yang melarang dan memberikan sanksi pada pembakar sampah. Salahsatunya Perda kota Bandung no 11 tahun 2005 , Bab VIII pasal 49 ayat (1) hh sebagai berikut :
Membakar sampah kotoran di badan jalan, jalur hijau, taman
selokan dan tempat umum sehingga mengganggu ketertiban
umum dikenakan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum
sebesar Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah),
dan/atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara
waktu Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Identitas
Kependudukan lainnya, dan/atau pengumuman di media masa ;
Pilihan ada di tangan kita, manusia, apakah mau memperlakukan pohon layaknya mahluk hidup atau hanya produk tak bernyawa. Walaupun manusia harus mengakui bahwa dia hanya bisa menanam, Tuhanlah yang berkehendak, bibit yang disemainya akan tumbuh atau tidak.(**Maria Hardayanto**)
sumber gambar : disini
Comments
Post a Comment